Kasus Korupsi Sistem Proteksi TKI di Kemnaker Rugikan Negara Rp17,6 Miliar

Dilansir Ilham Ryan Pratama dari Tribune.com

Tribun News.com, Jakarta – Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU) mendakwa Raina Usman, mantan Direktur Jenderal Pengembangan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, melakukan korupsi yang merugikan pemerintah sebesar $17,6 miliar. Kementerian Sumber Daya Tenaga Kerja (Kemenaker) sistem perlindungan TKI.

Raina didakwa sebagai Direktur PT Adi Inti Mandiri (PPK) 1 Nyoman Dharmanta dan Karunya di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transisi.

Jaksa penuntut negara menuduh Raina dan Dharmanta Karunya memperkaya diri mereka sendiri.

“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yaitu hibah 17.682.445.455 dapat berdampak pada keuangan negara atau perekonomian negara yaitu keuangan negara sebesar 17.682.445.455 rupee. Jaksa KPK saat itu. Pada Kamis (13/6/2024), dia membacakan perkara tersebut di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Jaksa menjelaskan, kasus tersebut bermula pada tahun 2010 saat Reina menjabat Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Pelatihan dan Pengembangan Produktivitas (Sesbinalatas) Kementerian Tenaga Kerja dan Migrasi.

Tahun itu dia belajar tentang Karuniya.

Pada pertemuan pertama, Karunya menyatakan ingin mengajukan izin perusahaan untuk layanan pelatihan Tiki dan setuju untuk membayar Raina 3 miliar birr.

Kemudian pada tanggal 25 April 2011, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Uhoyono (SBY) mengadakan rapat kabinet khusus dan memutuskan untuk membentuk kelompok koordinasi perlindungan TKI di luar negeri untuk mencatat permasalahan yang muncul. dalam tugas. dan memberikan rekomendasi perlindungan dan penyelesaian pekerja migran Indonesia di luar negeri.

Dari pertemuan tersebut, pada tanggal 14 Juni 2011, ia mengikuti kelompok gabungan “Perlindungan TKI” berdasarkan Keputusan Presiden Republik Kazakhstan Nomor 15 Tahun 2011.

Salah satu rekomendasi kelompok gabungan tersebut adalah segera diterapkannya sistem informasi dan parameter database TKI yang dapat diakses oleh masing-masing kementerian.

Kelompok Koordinasi Pertahanan Luar Negeri TKI akhirnya memberikan 13 rekomendasi, salah satunya mendesak dilakukannya integrasi sistem informasi dan database TKI, kata jaksa.

Raina yang memiliki alibi 13 tawaran di Rettas, memulai aksinya.

Saat itu, selaku CEO Reina Binapenta, Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Migrasi mengkoordinasikan Satuan Tugas Terpadu Perlindungan Pengungsi Asing untuk menyiapkan rincian anggaran belanja departemen tersebut pada tahun anggaran 2012. Anggaran untuk pengembangan sistem terapan dan alat pemantauan adalah 20 Miliar.

Pada tahun 2012, Karunia tidak mendapatkan izin perusahaan jasa pelatihan Tiki, padahal Raina sudah menerima uang dari Karunia.

Namun, Raina menjelaskan kepada Karuniya bahwa ada pekerjaan yang harus dilakukan dalam pengadaan sistem pemantauan dan manajemen informasi keamanan Tiki dan menawarkan Karuniya untuk melakukan pekerjaan itu, yang disetujui Karunia.

Raina menginstruksikan Karunya untuk bekerja sama dengan Yi Nyoman Darmantha selaku pejabat yang berjanji akan membeli sistem keamanan TKI pada tahun 2012.

Selanjutnya Raina Usman Karuniya diinstruksikan untuk bekerjasama dengan terdakwa Nioman Darmanta terkait pengadaan tersebut dan memerintahkan agar menggunakan dokumen rencana pengadaan yang telah disiapkan Bunamas dalam penyusunan HPP dan spesifikasinya, jelas jaksa.

Raina juga meminta seseorang bernama Deva Puthu Santika untuk bertindak sebagai penghubung antara dirinya dan Karunya terkait tender dan pelaksanaan pengadaan Sistem Pengendalian dan Manajemen Informasi Pertahanan Tiki.

Deva meminta lima persen biaya proyek dan Karunya menyetujuinya.

Usai pertemuan tersebut, Karunia membentuk tim penawaran PT AIM yang beranggotakan karyawan PT AIM Browns, George Verma, Christopher Hilliard, dan Asep Mardiana.

Dharmanta kemudian menggunakan dokumen desain sistem Bunamas sebagai kontrak karya (WCC) untuk menentukan biaya penilaian sendiri (HPS) sebesar $19,8 miliar tanpa perkiraan atau perhitungan apa pun.

Selanjutnya, atas arahan Karunya, Brown bertemu dengan terdakwa Nyoman Darmantha di kantornya dan menunjukkan dokumen berupa spesifikasi, desain sistem, dan jadwal biaya setiap item pekerjaan dalam bentuk kertas dan elektronik. Selanjutnya, tanpa melihat dokumen tersebut, terdakwa I Nyoman Darmantha menyebut dokumen ini sebagai acuan. Sebagai acuan (KAK) dan dijadikan dasar penetapan harga perkiraan sendiri (HPS) pengadaan sistem pemantauan dan pengelolaan informasi senilai Rp 19.825.000.000,- Kementerian Tenaga Kerja RI. dan data Transisi 2012 tidak berdasarkan pengembangan profesi dan bersifat kuantitatif tidak berdasarkan data,” kata jaksa.

Raina kemudian menginstruksikan Dharmanta untuk melakukan tender pengadaan sistem pemantauan dan pengelolaan informasi perlindungan migran tanpa konsultan perencana namun menggunakan dokumen perencanaan PT AIM.

Pada 14 September 2012, diumumkan di situs resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) bahwa paket anggaran tersebut memiliki harga pagu sebesar Rp 20 miliar, sedangkan harga HPS sebesar $19,8 miliar.

Singkat cerita, penawaran pertama ditolak karena hanya dua perusahaan yang mengajukan dokumen tender.

Lelang dibuka kembali pada tanggal 25 September 2012 dengan pendanaan APBN-P melalui metode tender kualifikasi post-knockout single file untuk TA 2012.

Karunia kembali memerintahkan Brown untuk menghadiri pelelangan. Karunya mengatakan, PT AIM sudah dikondisikan untuk memenangkan tender tersebut.

Carunia kemudian memerintahkan tim tender PT AlM untuk mengajukan penawaran kembali dan memberitahu Bunamas bahwa PT AIM adalah pemenangnya. Harga: Sesuai instruksi, tim tender PT AIM telah melengkapi dokumen tender PT AIM, PT CWS, dan PT ATE, kata jaksa. dikatakan.

Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober 2011 tim tender PT AlM mengunggah dokumen tender PT CWS dengan harga tender Rp19.810.000.000 dan pada tanggal 3 Oktober 2012 dokumen tender PT ATE diunggah dengan harga Rp19.820.000.000.000. dan dokumen tender PT AIM seharga Rp 19.777.000 dengan harga Rp 5.000.000,- lanjutnya.

Evaluasi tender dilakukan mulai tanggal 4 Oktober 2005 sampai dengan tanggal 9 Oktober 2007. Evaluasi administrasi, evaluasi teknis, dan evaluasi harga seharusnya dilakukan oleh PPBJ, namun dalam praktiknya dilakukan oleh tim tender PT AIM. Hasilnya, PT AIM dinyatakan lolos meski tidak memenuhi kriteria.

Selanjutnya, berdasarkan hasil evaluasi tender, PT CWS dan afiliasi PT ATE terbukti gagal, sedangkan PT AIM dinyatakan lolos evaluasi manajemen dan teknis, padahal dokumen tender PT AIM tidak memenuhi persyaratan. Tim tender PT AIM sedang dalam proses review pekerjaan PPBJ, PT AIM sudah menerima hasilnya. Berdasarkan persetujuan dan publikasi Laporan Hasil Publik, PT AIM telah memenangkan tender Sistem Pemantauan dan Manajemen Informasi Perlindungan Pekerja Migran. Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Republik Indonesia pada tahun 2012, menyesuaikan harga tender Rp 19.775.000.000.

Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2012, tergugat 1 Nyoman Darmantha menerbitkan surat penunjukan dan penunjukan Pemasok Barang/Jasa No: SPPBJ.2512/PTKLN-PANTIXI2012 PT AIM sebagai Pejabat Penanggung Jawab Pengadaan Barang dan Jasa. Sistem Monitoring Pengelolaan Informasi dan Perlindungan TKI “Binapenta Kementerian Tenaga Kerja dan Peralihan RI TA 2012” tambah Direktorat Jenderal.

Kemudian, pada 18 Oktober 2012, dilakukan penandatanganan kontrak pembelian sistem pemantauan dan pengelolaan data untuk perlindungan hak-hak pekerja migran.

Biaya pekerjaan 60 hari sejak 19 Oktober 2005 sampai dengan 15 Desember 2007 adalah 19,7 miliar.

“Pada tanggal 18 Oktober 2012 telah ditandatangani surat perjanjian (perjanjian) antara terdakwa I Nyoman Darmanta tentang kewajiban penyediaan sistem pemantauan dan pengelolaan data TKI No. B.2524/PTKLN/PPKIX/2012. Officer dan Karunya, CEO PT Adi Inti Mandiri dan “Biaya pekerjaan (termasuk PPN) sebesar Rp 19.775.000.000,00 untuk masa pelaksanaan 60 hari kalender terhitung tanggal 19 Oktober 2012 sampai dengan tanggal 15 Desember 2012,” ujarnya.

Pada tanggal 7 Desember 2012, Karunia menerima uang muka sebesar Rp3,5 miliar yang merupakan 20 persen dari nilai kontrak yang sudah termasuk pajak.

Saat itu, saya, Neoman Darmantha, selaku Direktur PT AIM, memerintahkan Panitia Pengkajian Kinerja (PPHP) untuk meninjau ulang pekerjaan yang dilakukan di Karunya. Akibatnya, ada item yang tidak memenuhi persyaratan.

“Masih terdapat unsur yang belum memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan dalam surat perintah mulai pekerjaan No. SPMK.2535/PTKLN-PPKIX/2012 tanggal 19 Oktober 2012. Pemasangan perangkat keras dan perangkat lunak di Malaysia dan Arab Saudi (Jeddah ) belum dilakukan,” kata jaksa.

Namun Dharmanta tetap bersedia membayar Karuniya 100 persen. Menurut jaksa, Carunia menerima sisa pembayaran sebesar $14 miliar.

Meski akuisisi sistem pengendalian dan pengelolaan informasi Tiki Protection belum rampung, namun pada 17 Desember 2012, terdakwa I Nyoman Darmanta tetap mengeluarkan surat perintah pembayaran dan bersedia membayar 100 persen jabatan direksi PT AIM kepada Karunya. SPM) Nomor 00314 “Selanjutnya pembayaran dalam SP2D Nomor 623549В/088/110 tanggal 21 Desember 2012 telah diterima oleh Karunia,” kata jaksa.

Menurut jaksa, tim evaluasi pekerjaan juga menemukan beberapa cacat pada pekerjaan tersebut.

Jaksa mengatakan sistem pelacakan dan pengelolaan informasi perlindungan TKI yang dikembangkan PT AIM tidak dapat digunakan untuk transfer data dan integrasi sistem antara Kementerian Tenaga Kerja dan Migrasi dengan sistem informasi yang ada. pemangku kepentingan yang berkepentingan.

Hal ini berdasarkan hasil evaluasi Tim Evaluasi Kinerja Kontrak Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi (Balitfo) Kementerian Tenaga Kerja dan Transisi Republik Indonesia tanggal 28 Desember 2012. Sejumlah permasalahan juga teridentifikasi. Sebagai Direktur PT AIM, barang yang dibeli Karunya bukan merupakan hasil kegiatan pengadaan. Entri data tidak dilakukan sebagai bagian. Tes masuk,” kata jaksa.

“Setelah penyerahan hasil kerja, sistem pengendalian dan pengelolaan informasi perlindungan TKI yang dikembangkan PT AIM tidak dapat digunakan untuk transfer data antara Kemnaker RI dan sistem perlindungan TKI Transmigrasi serta mengintegrasikan sistem tersebut. Karena sistem informasi yang ada saat ini adalah pemangku kepentingan terkait, “pemerintah tidak dapat menggunakannya sesuai dengan tujuan pembelian,” jelas jaksa.

Akibatnya, Reina Usman, Neoman Darmantha ke-1, dan Karunya didakwa melanggar Pasal 2, Pasal 1, dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 199 serta Pasal 18 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kode

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *