Dilansir jurnalis Tribunnews.com Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mengungkap adanya aliran modal ke berbagai pihak dari kasus dugaan korupsi proyek pembangunan KA Besitang -Langsa, di Balai Teknik Kereta Api Medan di 2017-2023.
Hal itu terungkap dalam sidang dakwaan tiga mantan pejabat Balai Teknik Perkeretaapian Daerah Sumut, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), yang didakwa dalam kasus ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) milik Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. . , Senin (15 Juli 3034).
Ketiga tersangka tersebut adalah mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Wilayah I Balai Teknik Perkeretaapian Daerah Sumut, Akhmad Afif Setiawan; mantan pekerja bangunan PPK yang bertugas membangun Kereta Api Besitang-Langsa, Halim Hartono; dan mantan Direktur Prasarana Balai Teknik Perkeretaapian Daerah Sumut, Rieki Meidi Yuwana.
Saat menyampaikan tuduhan tersebut, pejabat tersebut mengatakan bahwa uang yang dibayarkan berasal dari biaya input perusahaan pemenang.
Bahwa untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan Kereta Api Langsa-Besitang telah diberikan penyediaan dana, barang dan sarana pembangunan kepada Balai Teknik Perkeretaapian Daerah Sumut dan pihak lain sebagai bea masuk atas pemenangan perusahaan-perusahaan tersebut sebagai pelaksana pekerjaan. pekerjaan itu,” kata jaksa dalam dakwaannya.
Salah satu pihak yang mengeluarkan uang adalah BPK.
Berdasarkan dakwaan disebutkan BPK menerima 1,5% atau sekitar Rp 10,25 miliar.
“1,5% kepada BPK sejumlah Rp10.250.000.000,” kata jaksa.
Singkatan BPK tidak diungkapkan dalam dakwaan jaksa.
Tim kuasa hukum terdakwa juga meragukan niat BPK, menurut jaksa.
Kita maunya halaman 42, poin nomor 27. Maksudnya BPK disini, Kantor Pemeriksa atau BPK? Bukan disingkat seperti itu. Mohon izin Dewan. Karena di sini BPK menerima uang. Apakah BPK itu lembaga keuangan? lembaga penertiban atau bagaimana? Terduga penasihat hukum Halim Hartono.
Namun Kementerian Pekerjaan Umum enggan menjelaskan maksud BPK menerima uang dalam kasus ini.
Dalam kasus ini, penggugat justru meminta kuasa hukumnya untuk mencantumkan pertanyaan tersebut dalam nota eksepsi atau keberatannya atas dakwaan.
Jaksa berkata: “Tolong Dewan. Sebaiknya diajukan dalam keadaan luar biasa saja. Kalaupun tersangka membuat pengecualian, nanti akan kami tanggapi dalam keadaan luar biasa.”
Perlu diketahui, dalam kasus ini, para terdakwa didakwa atas perbuatannya membongkar proyek pembangunan Kereta Api Besitang-Langsa di wilayah Sumatera Utara antara tahun 2016 hingga Juli 2017.
Proyek dibagi hingga masing-masing proyek bernilai kurang dari Rp 100 miliar. Padahal, total anggaran proyek strategis nasional ini berjumlah lebih dari Rp 1,3 triliun.
Pembagian proyek untuk setiap proyek bernilai kurang dari Rp 100 miliar bertujuan untuk pengelolaan pemasok.
“Dengan tujuan menghindari rumitnya pengambilan keputusan ketenagakerjaan dan meminta Rieki Meidi Yuwana melakukan lelang dengan metode evaluasi pasca kualifikasi,” kata jaksa. Pekerja memasang pembatas uang di perlintasan kereta api kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (25 November 2019). Pemasangan besaran tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pergerakan kereta api dari satu lintasan ke lintasan lainnya dengan cara menggeser bagian lintasan yang runcing. (TRIBUNNEWS/Jeprima) (Tribunnews/JEPRIMA)
Akibat perbuatan para terdakwa, negara disebut menderita kerugian lebih dari Rp 1,15 triliun.
Nilai kerugian negara merupakan hasil perhitungan Badan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kerugian keuangan negara sebesar Rp1.157.087.853.322 atau sekurang-kurangnya sebesar yang tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi komprehensif terhadap Proyek pembangunan jalur kereta api Besitang – Langsa pada tanggal 13 Mei 2024 oleh Badan Kepegawaian. Pengawasan dan Pembangunan Keuangan”.
Dalam kasus ini, para terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Sub Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor digabungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.