TRIBUNNEWS.COM – Biro Akuntan Publik (BPK) sangat menonjol di mata masyarakat.
Bagaimana kalau, perusahaan swasta ini masuk dalam tiga kasus korupsi berbeda yang kini tengah disidangkan dalam waktu seminggu.
Bahkan, dalam tiga persidangan tersebut, BPK disebut-sebut mencari uang untuk tujuan berbeda.
Misalnya, anggota BPK disebut-sebut meminta uang sebesar 12 miliar agar mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Kementerian Pertanian (Keminton).
Hal itu terungkap dalam kasus penggelapan dan penggelapan di lingkungan Kementerian Pertanian yang didakwakan mantan Menteri Pertanian (Mintan), Sahar Yasin Limpo (SYL), pada Rabu (8/5/2024).
Selain itu, BPK juga turut disebut dalam sidang korupsi BTS 4G Bakti Kominfo yang melibatkan mantan anggotanya yakni Achan Al-Quwaisi yang digelar pada Minggu (14/5/2024).
Diketahui, Achan Al Qusi didakwa mengambil uang Rp 40 miliar karena memberikan predikat WTP pada proyek BTS 4G.
Pada hari yang sama, BPK juga disinggung soal kemenangan pembangunan Tol Jakarta Cikampek (Japek) II Elevated atau Jalan Layan Muhammad bin Zaid alias MBZ oleh seorang saksi yakni pejabat PT Wasketa. Kariya, Sughirto.
Dia mengatakan, atasannya, Bambang Riyanto, memintanya memberikan Rp 10,5 miliar untuk kebutuhan BPK.
Sekadar diketahui, berikut rincian keterlibatan BPK dalam tiga kasus korupsi. 1. Pemeriksa BPK disebut mencari 12 miliar sebagai WTP Kementerian Pertanian.
Dalam sidang Rabu pekan lalu, saksi mata sekaligus Sekretaris Jenderal Prasarana dan Sumber Daya (PSP) Kementerian Pertanian Hermanto mengatakan Kementerian Pertanian meminta dana Rp 12 miliar untuk mendapatkan predikat WTP tersebut.
Hal itu diungkapkan Hermanto saat Jaksa KPK menanyakan soal peninjauan BPK karena adanya temuan hukum pegawai Kementerian Pertanian terlibat dalam pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga SUL.
Jaksa juga mempertanyakan apakah Hermanto juga mengenal Inspektur BPK Victor Daniel Sehan.
Ia pun menanyakan kepada jaksa apakah Hermanto meminta uang kepada Victor agar Kementan bisa mendapat predikat WTP.
Harmanto pun menyetujui adanya usulan tersebut.
“Isunya apa, usulan atau apa yang harus dilakukan Kementerian Pertanian untuk menjadi PAP?” tanya jaksa.
“Iya waktu itu diusulkan untuk menginformasikan kepada Perdana Menteri soal harganya, kalau tidak salah diminta Rp 12 miliar ke Kementerian Pertanian,” jawab Hermanto.
“Rp 12 Miliar Diminta Inspektur BPK?” tanya jaksa lagi.
“Iya, tadi Rp 12 miliar dari Pak Victor,” kata Hermanto. 2. Achsanul Qasasi didakwa menerima Rp 40 miliar untuk proyek WTP BTS 4G Terdakwa III merupakan anggota tidak aktif di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qasasi menjalani sidang perdana di Pengadilan Pidana (Tipkor) Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri (PN), Jakarta, Kamis (7/3/2024). Sidang perdana kasus Tippikur yang melibatkan anggota lemah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) III (BPK) Achsanul Qasasi dan kelompok khusus Sadikin Rusli membela penyediaan dan dukungan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G diduga menggunakan metode termasuk dalam seri. Pembangunan Blok 1, 2, 3, 4, dan 5 dikelola oleh Badan Komunikasi dan Informatika (Bukti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)
Selain itu, pada Selasa juga digelar sidang lanjutan kasus korupsi proyek 4G BTS dengan pemateri mantan anggota BPK III, Achan Al-Quwaisi.
Dalam kasus ini, Achan Al-Quwaisi didakwa menyetor Rp40 miliar untuk evaluasi proyek pengadaan BTS Bakti 4G oleh BPK.
Oleh karena itu, proyek BTS 4G mendapat perkiraan WTP dari BPK.
Dalam persidangan kemarin, terdapat fakta yang diungkapkan Achan Al-Quwasi saat ditanya hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Artinya, Achan al-Quwaisi mengaku menyewa rumah di Kamang, Jakarta Selatan untuk menyembunyikan uang sebesar $40 miliar.
“Apa gunanya menyimpan uang di rumah Kemang?” tanya Alfis Setiwan, hakim anggota dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).
“Saya sedang memikirkan bagaimana cara mendapatkannya kembali,” jawab Qasi.
Kebingungan Qasasi dikaitkan dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariyotjo.
“Apakah kamu berencana membawanya kembali?” Kembali ke siapa? tanya Hakim Alfi.
“Itulah. Saya ngobrol dengan Pak Sadiqin. Dia tidak punya nomor teleponnya. Dia tidak kenal orangnya. Dia bingung. Lagi pula, ada kabar kepulangannya dan tersebar,” jawab Qasi.
Sebagai pejabat pemerintah, Achan al-Quwasi harus mengembalikan Rp40 miliar ke KPK.
Sebab ada undang-undang yang menyatakan pejabat pemerintah harus melaporkan hadiah yang jumlahnya lebih dari Rp 1 miliar.
“Sebagai pejabat pemerintah sekarang, apa yang harus saya lakukan?” kata hakim.
“Saya harus melaporkan hal ini ke aparat penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Qasi.
“Kepada Garda Penyerang, kan?” Bertanggung jawab, bukan? Berapa besar tanggung jawab yang diperlukan untuk melaporkan?
“Rp 1 miliar.”
Namun karena sikap Qasi Sahib, ia tidak melapor ke KPK.
Katanya, karena melihat laporan keuangan beberapa instansi pemerintah. 3. BPK 10,5 miliar rupiah MBZ membayar pemeriksaan proyek jalan mahal Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) di pengadilan tipikor. Pengadilan Negeri Jakarta, Selasa (30/4/2024). (Tribunnews.com/Ashri F)
BPK juga terseret penyidikan kasus korupsi yakni proyek pembangunan jalan tol MBZ 2016-2017 yang digelar Selasa lalu.
Sugiharto, salah satu saksi sekaligus pejabat PT Wasketa Kerya mengatakan, atasannya, Bambang Riyanto, saat menjadi pengawas di PT Wasketa Kerya, memintanya memberikan uang sebesar 10,5 miliar rupiah untuk BPK.
“Saat itu saya diinstruksikan oleh Direktur Operasional saya, Pak Bambang, ‘Tolong setorkan 10 miliar ke Japak untuk keperluan BPK pak,’” kata Sugiharto dalam persidangan.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, Sugiharto mengaku terpaksa membuat rencana fiktif.
Proyek tersangka yang dimaksud adalah penambalan tol MBZ pada tahun 2021.
“Iya saya akan susun karena sudah 100 persen pak. Pemeliharaannya hanya untuk saya saja pak,” kata Sagar.
Ia mengatakan atasannya tak mau tahu bagaimana caranya memenuhi biaya masuk sebesar Rp 10,5 miliar yang diminta BPK.
Bosnya hanya ingin Rp 10,5 miliar tetap tersedia untuk kebutuhan BPK.
“Siapa bosmu? Tuan Direktur?” tanya jaksa penuntut umum.
“Direktur Eksekutif,” jawab Sugiharto.
“Apakah kamu tahu keputusanmu?” tanya jaksa lagi.
“Pak Bambang tahu apa yang diperlukan untuk mendapatkan 10 miliar.”
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ashri Fadilla)