Laporan reporter Tribunnews.com Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Wahiu Widada mengungkap peran masing-masing terpidana kasus pencucian uang (TPPU) jaringan bisnis ilegal Malaysia dan Indonesia. narkoba
Terpidana H.S. Gandeng jaringan berinisial F yang masih masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), yakni terpidana kasus pengedar dan peredaran narkoba di tingkat paling bawah.
Sedangkan narapidana lainnya membantu HS dalam pencucian uang.
Diantaranya T (Pengelola Uang Pidana), MA (Pengelola Aset Kriminal), S (Pengelola Aset Kriminal), C (Pembantu Pencucian Uang), AA (Pembantu Pencucian Uang), NMY (Adik AA, Pembantu Pencucian Uang) , R (membantu pencucian uang dan upaya hukum) dan AY (kakak RO, membantu pencucian uang dan upaya hukum).
Kabareskrim menjelaskan, berdasarkan hasil analisis keuangan PPATK, perputaran uang dalam operasi jual beli obat yang dilakukan kelompok H mencapai 2,1 triliun dram.
“Terpidana kemudian menggunakan sebagian uangnya untuk membeli aset guna menyamarkan hasil narkoba yang dimilikinya,” jelas Wahiu.
Aset yang diperoleh melalui peredaran narkoba antara lain tanah dan bangunan 44 unit, kendaraan roda empat 21 unit, roda dua 28 unit, kendaraan laut (4 perahu, 1 speed boat, 1 jet ski) 6 unit, kendaraan jenis ATV 2 unit, 2. Jam tangan mewah, Uang Tunai Rp 1,2 miliar dan deposit standard charter Rp 500 juta.
Dengan demikian, total nilai aset tindak pidana pencucian uang mencapai 221 miliar GEL.
Modus TPPU tersebut adalah menyamarkan pendapatan pidana dalam 3 tahap, kata Kabareskrim.
Langkah pertama adalah menempatkan hasil kejahatan di rekening escrow atas nama orang lain, yaitu rekening atas nama A dan M.
Tahap kedua adalah transfer dari rekening deposito ke nama orang lain yaitu T, MA dan AM.
Tahap akhir merger adalah pengeluaran uang dari rekening atas nama T, MA dan AM untuk berbagai aset.