Laporan jurnalis Tribunnews.com, Geetha Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kabarnya DPR RI berencana menggelar rapat pada Rabu (22/5/2024) pekan depan untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kabar tersebut mencuat setelah koalisi masyarakat sipil mengadakan interaksi media dan debat mengenai pembahasan RUU TNI di DPR pada 22 Mei, terkait kembalinya dwifungsi ABRI, perluasan kekuasaan TNI, dan isu peradilan militer. 2024″.
Interaksi dan diskusi media digelar secara daring pada Minggu sore (19/5/2024).
Koordinator Kajian Imparsial Hussain Ahmed mengawali pemaparannya, kegiatan tersebut digelar untuk menggalang rencana pembahasan revisi UU TNI di DPR pekan depan, Rabu (22/5/2024).
Media briefing ini sebenarnya digelar untuk menyikapi rencana pembahasan revisi UU TNI pada Rabu, 22 pekan depan, ujarnya dalam kanal YouTube non-partisan, Minggu (19/05/2024).
Namun anggota Komisi I DPR RI Dave Luxono membantah kabar tersebut.
Dave memastikan, belum ada jadwal pembahasan RUU TNI dalam waktu dekat.
“Yang pasti belum ada jadwal pembahasan RUU TNI dalam beberapa hari ke depan,” kata Dave saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (19/06/2024).
Komisioner I DPR TB Hasanuddin mengaku belum mendapat informasi terkait hal tersebut.
Ia mengaku hanya diberitahu rencana pertemuan tersebut.
Namun belum diketahui apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan tersebut.
“Saya belum dapat informasi apa pun. Yang ada hanya informasi ada rapat komisi, belum diberikan materinya,” kata T.B saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (19/5/2024). Terjadi perselisihan
Berdasarkan data Tribunnews.con, wacana revisi UU TNI yang terjadi sekitar setahun lalu pada Mei 2023, sempat menuai kontroversi di masyarakat pada Mei 2023 lalu.
Beberapa pihak, terutama kelompok masyarakat sipil, mengkritik pidato tersebut.
Secara umum, usulan tersebut mendapat kritik karena dianggap bermasalah, tidak efektif, dan berpotensi melemahkan hasil reformasi TNI, termasuk mengganggu hubungan Kementerian Pertahanan dan TNI.
Awalnya, materi pemaparan yang membahas revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI beredar pada Mei 2023.
Dokumen ini merupakan pembahasan internal mengenai rencana perubahan beberapa ketentuan UU TNI.
Dalam materi pemaparannya, dijelaskan secara rinci beberapa pasal yang diusulkan internal TNI untuk diubah.
Kelompok masyarakat sipil kemudian mengkritisi beberapa pasal yang diusulkan, antara lain kedudukan TNI, perpanjangan usia pensiun, penambahan jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit aktif, hubungan kelembagaan Kementerian Pertahanan dan TNI, serta anggaran. . otoritas
Terkait kedudukan TNI, rancangan tersebut mengusulkan agar TNI menjadi instrumen negara tidak hanya di bidang pertahanan tetapi juga di bidang keamanan.
Padahal, landasan keberadaan UU TNI adalah UU Pertahanan Negara No. 3/2002 tidak mengenal istilah pertahanan dan keamanan negara.
Dalam pemaparan ini diusulkan untuk menghapus pengertian Pasal 3.1 UU TNI yang menggambarkan kedudukan TNI di bawah Presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer.
Penghapusan garis komando dinilai berpotensi membuka ruang subordinasi militer terhadap pemimpin sipil.
Selain itu, peraturan pelaksanaan operasi militer, baik tempur maupun nontempur, memerlukan pedoman kebijakan dan keputusan pemerintah (Presiden dan DPR).
Dalam pemaparan tersebut, gagasan penguatan otonomi TNI dinilai lebih nyata, serta keinginan untuk mengatur dan mengelola anggaran pertahanan dengan lebih leluasa.
Tak hanya itu, keinginan untuk mendapatkan anggaran non-pertahanan dari APBN terlihat jelas secara materi dengan dihilangkannya frasa “Anggaran Pertahanan Negara” dalam Pasal 66 ayat (1) UU TNI.
Pasal tersebut menyebutkan “TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Permasalahan yang dianggap problematis dalam materi pemaparan adalah terkait perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh PNS aktif karena dianggap dapat menghambat pengembangan karir aparatur sipil negara.
Usulan dalam pemaparan tersebut dinilai menimbulkan inefisiensi dalam pengelolaan organisasi angkatan bersenjata, seperti terlihat dari gagasan melembagakan wakil panglima TNI dan menaikkan usia pensiun jenderal menjadi 60 tahun dan 58 tahun bagi bintara.
Usulan-usulan dalam pemaparan tersebut dinilai berpotensi melemahkan hasil-hasil reformasi TNI, termasuk posisi Kementerian Pertahanan yang terlihat dari upaya membatasi koordinasi dengan Kementerian Pertahanan dan Pengendali Perbekalan. Kekuasaan militer dan peradilan umum.
Saat itu, pihak TNI pun menanggapi kontroversi tersebut dengan mengatakan materi pemaparan tersebut belum dievaluasi dan disetujui oleh Panglima TNI saat itu, Laksamana TNI Eudo Margono.
Kemudian Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menanggapi kontroversi tersebut dengan mengatakan tidak perlunya revisi UU TNI.