TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut cuitan Septia Dwi Pertiwi sengaja dibuat untuk mencemarkan nama baik Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF sebagai sosok yang berakhlak buruk.
Hal itu diungkapkan kuasa hukum dalam sidang pengadilan bersama salinan pendapatnya dalam sidang perkara korupsi yang diajukan terhadap mantan karyawan PT Lima Sekawan, yakni terdakwa Septi Dewi Pertiwi, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (08/01/ 2025). ).
“Perbuatan terdakwa sengaja dilakukan untuk merusak nama baik saksi Henry Kurnia Adhi alias John LBF terhadap pendahulunya di kepengurusan perusahaan (PT Lima Sekawan Indonesia atau Hive Five). “Dan perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang bertujuan untuk kepentingan umum,” kata jaksa dalam persidangan.
Pengacara berdalih hal itu karena perbuatannya melanggar hukum dan melanggar hak individu orang lain. Sebagai hukum demi hukum.
“Dewan Penasehat Hukum Terdakwa menegaskan bahwa tindakan Terdakwa memposting pesan atau komentar di aplikasi Twitter adalah untuk kepentingan umum. Agar tidak ada pegawai atau orang lain yang merasa haknya dilanggar seperti yang dirasakan terdakwa, kata jaksa.
Pengacara menjelaskan, dari sudut pandang hukum, UU ITE mengartikan kepentingan umum sebagai perlindungan terhadap masyarakat yang diwujudkan melalui hak berekspresi dan demokrasi. Misalnya melalui demonstrasi atau kritik.
Tim penasihat hukum terdakwa memeriksa fakta persidangan dengan cermat karena perbuatan terdakwa tidak untuk kepentingan umum, jelasnya.
Menurut kuasa hukum, perbuatan terdakwa merupakan pemikiran negatif pribadi. Terdakwa sengaja mencemarkan nama baik saksi Henry Kurnia Adhi alias John LBF yang bersifat jahat.
Duduk kasus septia vs John LBF
Sekadar informasi, Septia saat ini berstatus terdakwa kasus pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Henry Kurnia Adhi Sutikno atau John LBF menudingnya sebagai pimpinan PT Lima Sekawan Indonesia. John LBF kesal dengan informasi yang disebarkan Septia tentang perusahaannya.
Septia diketahui melakukan pemotongan gaji, pembayaran di bawah upah minimum kota (UMP), lembur, dan tidak adanya BPJS Kesehatan serta pembayaran pembayaran melalui rekening X (Twitter).
John LBF kemudian melaporkan cuitan Septia ke Polda Metro Jaya karena diduga melanggar UU ITE.
Berdasarkan laporan, Kejati Jakarta Pusat menangkap Septia pada 26 Agustus 2024 tanpa alasan yang jelas. Dia kemudian menjadi tahanan sipil setelah diadili pada 19 September 2024.
Ia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik dan Pasal 36 UU ITE dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak keberatan yang diajukan kuasa hukum Septia. Investigasi atas dugaan kasus ini sedang berlangsung.
Septia Dwi Pertiwi divonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta.
Jaksa penuntut umum (JPU) sudah mendakwa karyawan PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five) Septia Dwi Pertiwi dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp50 juta, ditambah tiga bulan penjara.
Permohonan tersebut diumumkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (12/11/2024).
Pengacara mendakwa Septia melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Perdagangan Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) karena diduga mencemarkan nama baik mantan bosnya Henry Kurnia Adhi alias John LBF.
Pengacara Septia dari Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jaidin Nainggolan, mengecam tindakan pengacara tersebut.
Pengacara mengabaikan keterangan penuduh atau tidak mengatakan bahwa kami memiliki saksi yang menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Septia di media sosial adalah benar, kata Jadiin dalam keterangannya, Kamis (12/12/2024). .
“Hal ini dibenarkan oleh dua saksi yang dihadirkan, yang diabaikan sama sekali oleh pengacara. Pengacara hanya mendengar keterangan dari pelapor sendiri, Henri atau John LBF, lanjutnya.
Kepala kebebasan berpendapat SAFEnet, Hafiz Nabiyin, yang telah bersama Septia sejak awal, memiliki sentimen yang sama.
Dalam penilaiannya, JPU mengabaikan keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan.
“Keterangan seluruh saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan sama sekali tidak dipertimbangkan oleh kuasa hukum,” ujarnya.
Dijelaskannya, para ahli ITE misalnya sudah dengan tegas menyatakan bahwa sesuai Kebijakan Bersama Pokok-Pokok Penerapan UU ITE, penilaian, pendapat, hasil pengujian atau fakta tidak boleh dianggap sebagai tindak pidana.
Pakar hak asasi manusia juga mengatakan bahwa diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan, seperti korporasi, adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang tidak boleh dikriminalisasi.
Septia pun mengaku tak senang dengan permintaan pengacara yang mengabaikan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan.
Sedih sekali melihat pertanyaan JPU, karena yang (saya) sebutkan (di dalamnya) saya kecewa sekali, kata Septia.