TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi 7 DPR RI dari Partai PKS Mulyanto menyoroti aturan pemberian Izin Usaha Pertambangan (WIUPK) khusus untuk properti komersial milik lembaga sosial atau organisasi umat keagamaan.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aturan tersebut diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis (30/5/2024).
Mulyanto khawatir, pemberian prioritas IUPK pada organisasi keagamaan akan semakin membuat pemerintah bisa menambang dunia.
Kini persoalan penambangan liar sudah seperti benang kusut. Sementara itu, pembentukan Satuan Tugas Terpadu Pertambangan Ilegal hingga saat ini belum membuahkan hasil, apalagi adanya dugaan kehadiran pejabat tinggi yang dilecehkan dalam berbagai kasus. Kemajuan, masih perlu dilakukan,” kata Mulianto kepada wartawan, Minggu (2/6/2024).
Mulyanto menilai, Presiden gagal menginisiasi anggaran primer pengelolaan mineral dan batubara.
Sebab, menurut dia, pengelolaan tambang minerba besar sekarang harus sudah mapan, izinnya tidak boleh diberikan.
Artinya pemerintah saya tidak serius mengurus negara. Pemerintah juga menjadikan IUPK sebagai komoditas negara dengan kelompok tertentu, ujarnya.
“Minerba PP yang ditandatangani Presiden baru saja direvisi. IUPK-nya ditulis di hadapan organisasi-organisasi komersial yang mempunyai perkumpulan umat beragama,” lanjutnya.
Mulyanto mengatakan IUPK mengutamakan lembaga dunia usaha, bukan lembaga keagamaan.
Dari sisi regulasi-administratif, hal ini tampaknya dibenarkan dan masih sesuai dengan UU Minerba.
Namun, dari sudut pandang politik, jelas ada upaya untuk berbagi kue ekonomi, katanya.
“Jadi kinerja badan usaha ini harus diawasi dengan ketat. Apakah benar-benar profesional untuk menjalankan RKAB pertambangan dengan baik, sekaligus meningkatkan pendapatan anggaran negara (PNBP). Atau hanya bisnis bodong saja, Ali-Baba. Perusahaan,” ujarnya. dia menyimpulkan.