TRIBUNNEWS.COM – Lampu Jembatan Tabiat di Teheran, Iran, berubah menjadi merah sebagai balas dendam darah atas kematian Ismail Haniyeh, pemimpin politik gerakan Hamas.
Dikutip ifpnews.com, Jembatan Tabiat, jembatan non-kendaraan terbesar di Iran, berubah menjadi merah pada Kamis malam (8/1/2024), sehari setelah Ismail Haniyeh terbunuh.
Sementara itu, Kantor Pelestarian dan Publikasi Karya Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatollah Khamenei, juga merilis poster yang melambangkan balas dendam darah terhadap Haniyeh.
Poster ini merujuk pada sebagian pesan Ayatollah Khamenei tentang perlunya membalas pertumpahan darah Haniyeh.
Dalam suratnya, Ayatollah Khamenei mengakui rezim teroris Zionis telah membunuh tamu kehormatan, Haniyeh, di rumahnya.
Haniyeh dan salah satu pengawalnya tewas dalam penyerangan di kediamannya di Teheran, Rabu pagi (31/7/2024). Iran mengibarkan bendera merah Bendera merah berkibar di atas masjid Jamkaran di Iran. (X @GlobeEyeNews @theinformant_x)
Tak hanya jembatannya yang berwarna merah, Iran juga mengibarkan bendera merah sebagai simbol balas dendam.
Mengutip The New Arab, Iran mengibarkan bendera merah di atas Masjid Jamkaran, Qom, pada Rabu (31/7/2024).
Bendera serupa telah dikibarkan sebelumnya, terutama ketika komandan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) Qassem Soleimani terbunuh dalam serangan udara AS pada tahun 2020 dan setelah pemboman pemakaman Kerman pada tahun 2024.
Ali Khamenei juga memerintahkan Iran untuk segera menyerang Israel sebagai tanggapan atas pembunuhan Haniyeh, lapor New York Times, mengutip tiga pejabat Iran.
Khamenei mengeluarkan perintah tersebut dalam pertemuan darurat Dewan Keamanan Nasional Tertinggi pada Rabu pagi, tak lama setelah Haniyeh terbunuh dalam serangan Israel terhadap gedung di Teheran tempat dia tinggal.
Dua dari tiga sumber yang diwawancarai oleh The New York Times berasal dari IRGC.
Mereka meminta identitas mereka dirahasiakan karena mereka tidak berwenang berbicara kepada media.
Dalam pernyataan publik setelah pembunuhan Haniyeh, Khamenei mengatakan Israel terbuka terhadap “hukuman berat” dan mengindikasikan Iran akan segera membalas.
Pejabat Iran lainnya, seperti Presiden baru terpilih Masoud Pezeshkian, juga mengindikasikan bahwa Iran akan membalas.
Katanya, pembunuhan Haniyeh di sebuah wisma di Teheran juga merupakan serangan terhadap kedaulatan Iran. Negosiasi gencatan senjata menjadi tidak pasti
Seperti dikutip The New Arab, pembunuhan Ismail Haniyeh dikutuk secara luas di Timur Tengah dan seluruh dunia.
Qatar, yang memainkan peran penting dalam memediasi upaya untuk mengakhiri perang Gaza dan menjadi tuan rumah Haniyeh, bereaksi dengan marah.
“Pembunuhan politik dan serangan terhadap warga sipil yang terus berlanjut di Gaza ketika perundingan terus berlanjut membuat kita bertanya: Bagaimana mediasi bisa berhasil ketika satu pihak membunuh negosiator lainnya?” kata Perdana Menteri Qatar Mohammed Bin Abdul Rahman al-Thani.
Tiga pejabat AS juga mengatakan kepada Axios bahwa pemerintahan Biden sangat khawatir pembunuhan Haniyeh dapat mengakhiri negosiasi gencatan senjata di Gaza dan memicu eskalasi konflik.
Namun juru bicara Gedung Putih John Kirby mengatakan kepada wartawan hari Rabu bahwa masih terlalu dini untuk mengatakan bagaimana kematian Haniyeh dapat mempengaruhi perundingan. Jenazah Ismail Haniyeh tiba di Doha, Qatar, Jumat (8/2/2024) (Screenshot Video X/Twitter) Pemakaman Ismail Haniyeh.
Ismail Haniyeh dimakamkan di Doha, Qatar, Jumat (8/2/2024).
Sebelum Haniyeh terbang ke Qatar, Ayatollah Khamenei memimpin salat jenazah di Teheran, Iran.
Al Jazeera melaporkan, jenazah Haniyeh telah tiba pada Jumat pagi di masjid Imam Muhammad ibn Abd al-Wahhab di ibu kota Qatar, Doha.
Pemakamannya dilakukan setelah salat Jumat.
Menurut laporan Al Jazeera, meski cuaca panas, ribuan orang berkumpul di Masjid Imam Abdul Wahab, di Doha, untuk memberikan penghormatan kepada mendiang Haniyeh.
Pesan dari mayoritas orang yang diwawancarai oleh Al Jazeera adalah solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza.
“Meski dia meninggal, bukan berarti sistemnya mati,” kata Nadine Ramadan, audiolog berusia 28 tahun, saat mengantri untuk masuk masjid.
“Perempuan Palestina akan membesarkan laki-laki yang lebih baik darinya dan kami akan tetap di sini dan berjuang,” kata Ramadan.
Mundur beberapa langkah, Aisha (23) mengatakan pentingnya menghadiri upacara tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap mereka yang terdampar di Gaza.
“Bagi banyak orang, Haniyeh adalah mercusuar harapan,” katanya.
“Jadi menurut saya penting untuk menunjukkan solidaritas kita terhadap Palestina dan memastikan kita ada di sini untuk mereka, meskipun kita tidak bisa melakukan apa pun secara fisik, kita tetap bersama mereka,” tambahnya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)