Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Majelis hakim Pengadilan Pidana Tipikor Jakarta akan membacakan putusan dugaan korupsi PT Timah, Senin (23/12/2024) sore ini.
Tim kuasa hukum terdakwa Harvey Moeis, Suparta dan Reza Andriansyah berharap hakim berhati-hati dalam mengambil keputusan berdasarkan fakta persidangan.
Salah satunya perbedaan perhitungan kerusakan lingkungan yang dihitung ahli hutan Bambang Pahlawan dengan perhitungan geologi Albert Septario Tempessy dan Syahrul.
Dewan juri harus mengkaji secara cermat perbedaan perhitungan kerusakan lingkungan hidup.
“Pemikiran dan analisa yang campur aduk ini, apalagi melibatkan berbagai disiplin ilmu, menimbulkan percampuran ilmu pengetahuan yang saling bermusuhan dengan mendefinisikan domain yang salah, yaitu mempercayai ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan, begitulah praktiknya. dari mengingkari ilmu. ,” ujarnya, kata kuasa hukum terdakwa, Junaedi Saibih, Minggu (22/12/2024).
Junaedi mengungkapkan, dalam fakta persidangan kerusakan lingkungan hidup sebesar Rp 271 triliun, Bambang Pahlawan menghitung dengan citra satelit resolusi menengah yang masih kurang akurat dan dapat menghasilkan gambar yang terhalang awan.
Diharapkan kepada juri dapat menunjukkan bahwa cara penghitungan kerugian lingkungan hidup kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahan analisis.
“Para ahli yang menghitung kerugian lingkungan hidup di lingkungan pertambangan PT Timah tidak mempunyai keahlian/pengetahuan ilmiah di bidang geologi/pertambangan yang diperlukan untuk menginterpretasikan aktivitas pertambangan yang tertangkap dalam citra satelit,” jelasnya.
Tim kuasa hukum terdakwa kemudian menyinggung perhitungan ahli atas nama Albert Septario Tempessy dan Syahrul dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi.
Menurut Junaedi, perhitungan Albert menghilangkan tudingan soal penambangan masif pada 2015 hingga 2022.
Sebab berdasarkan perhitungan tersebut, seluruh area terbuka akibat aktivitas penambangan timah di lokasi IUP PT Timah terjadi sebelum Januari 2015.
Selain itu, dipermasalahkan juga bahwa luas areal pertambangan dihitung oleh ahli perlindungan hutan yang ditunjuk sebagai ahli oleh Jaksa Agung, yakni Bambang Pahlawan Saharjo, ujarnya.