Jatuh Bangun Sriwijaya Air, Maskapai yang Pendirinya Menjadi Tersangka Kasus Timah

TRIBUNNEWS.COM — Sriwijaya Air pernah menjadi salah satu maskapai penerbangan terbesar dan terbaik dengan faktor keselamatan prima di Indonesia.

Ternyata maskapai ini dibangun dengan susah payah oleh sebuah keluarga asal Bangka-Belitung.

Presiden sekaligus direktur pertama Sriwijaya Air, Chandra Lie mengatakan, maskapai ini awalnya dibangun bekerja sama dengan Pemprov Sumsel pada tahun 2000-an.

Tujuan diciptakannya Sriwijaya Air adalah untuk menyatukan seluruh nusantara sesuai keinginan raja kerajaan Sriwijaya yang berasal dari kota Palembang.

Saat itu Bangka-Belitung masih menjadi bagian dari provinsi Sumatera Selatan.

Namun, kemitraan tersebut putus karena suatu alasan. Pemprov Sumsel tak mau lagi mengeluarkan dana untuk membiayai proyek pendirian Sriwijaya Air.

Tanpa adanya mitra pemerintah daerah, keluarga tersebut tetap bersikeras untuk mendirikan maskapai penerbangan. Pasalnya, saat itu sudah ada bandara di Pangkalpinang, namun penerbangan ke Jakarta hanya bisa dilakukan beberapa hari sekali, kebanyakan menggunakan maskapai Merpati.

Faktanya, mobilitas orang Bangka menuju Jakarta cukup padat. Karena harga tiket yang cukup tinggi dan transportasi dikuasai oleh sektor maritim, maka saat itu ASDP mengoperasikan penyeberangan dari Jakarta ke Pangkalpinang.

Deregulasi industri penerbangan saat itu yang memperbolehkan siapa pun mendirikan maskapai penerbangan menjadi keberuntungan Sriwijaya Air.

Wikipedia menyatakan bahwa PT Sriwijaya Air berawal dari perusahaan swasta murni yang didirikan oleh Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin dan Andy Halim.

Mereka membangun maskapai ini dibantu oleh para ahli yang juga merupakan pionir terciptanya Sriwijaya Air, antara lain Supardi, Kapten Kusnadi, Kapten Adil W., Kapten. Harwick L, Gabriella dan Suwarsono.

Sriwijaya Air harusnya menjadi maskapai yang kuat, seperti logonya yang berbentuk kepala gajah yang tergambar dalam aliran lukisan. Logo ini juga melambangkan RU-YI (filsafat Tiongkok) yang artinya apa yang kita inginkan atau cari harus tercapai. pastikan kamu sampai di sana.

Bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 2003, Sriwijaya Air melakukan penerbangan pertamanya dengan pesawat yang dimilikinya, yakni Boeing 737-200 dengan rute Jakarta-Pangkalpinang pp.

Reaksi masyarakat saat itu luar biasa, kursi di pesawat selalu penuh. Nyatanya, kehadiran maskapai ini telah mengubah perilaku transportasi warga Bangka-Belitung.

Mereka yang biasa menggunakan kapal cepat untuk bepergian ke Jakarta kemudian beralih ke pesawat yang harga tiketnya dinilai kompetitif.

Harga tiket Sriwijaya Air Rp 175.000 dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit, sedangkan harga tiket speedboat Rp 165.000 namun membutuhkan waktu perjalanan 10 jam. Enam bulan kemudian, kompetisi berakhir dan ASDP menutup layanan fast boat rute Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta – Pelabuhan Pangkalbalam Pangkalpinang.

Sriwijaya Air terus berkembang dan melebarkan sayapnya melayani beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan, seperti Jambi, Palembang, dan Pontianak. Jumlah pesawat terus bertambah, hanya dalam waktu dua tahun Chandra Lie CS mampu mengoperasikan 15 Boeing 737-200 di lebih dari seratus rute.

Saat itu, Sriwijaya Air juga sedang mencoba memperkenalkan 10 pesawat terbaru dan mumpuni, yaitu Boeing 737 tipe 300 dan 400. Artinya, maskapai ini akan bersaing dengan Garuda, maskapai kebanggaan pemerintah Indonesia.

Namun Chandra Lie selalu mengatakan bahwa Garuda adalah maskapai nasional Indonesia, kalah bersaing dan patut didukung.

Sriwijaya kalah bersaing dengan Garuda, kami dukung terus Garuda karena merupakan maskapai nasional Indonesia, kata Chandra Lie beberapa kali saat itu.

Tujuh tahun setelah berdiri pada tahun 2010, Sriwijaya Air benar-benar mengalami perkembangan yang luar biasa. Maskapai ini berekspansi dengan membuka rute luar negeri, khususnya ke Malaysia dan Singapura.

Maskapai ini juga mengoperasikan 27 pesawat dan menguasai 11,8 persen pasar penerbangan domestik. Hanya Lion Air dan Garuda Indonesia yang menguasai pasar lebih besar.

Sriwijaya Air semakin percaya diri. Maskapai ini telah memesan 20 pesawat Embraer Type 175 dan 195 buatan Brasil. Namun pesanan ini akhirnya dibatalkan dan digunakan untuk memesan Boeug 737-500 untuk operasional anak perusahaannya NAM Air.

NAM Air beroperasi sebagai pendukung Sriwijaya pada penerbangan ke wilayah yang tidak dilayani oleh Sriwijaya.

Perjalanan bisnis Sriwijaya Air saat itu mengalami kemajuan pesat. Untuk memenuhi basis pelanggannya yang terus berkembang di wilayah timur Indonesia, maskapai ini telah menambah 47 pesawat hingga tahun 2016, beberapa di antaranya merupakan pesawat termodern saat itu, Boeing 737-800 NG dan Boeing 737-900 ER. Ilustrasi pesawat Sriwijaya Air di udara. Sriwijaya Air menawarkan tiket pesawat murah Jakarta-Bangka Belitung untuk penerbangan langsung pada Rabu (06/09/2023). (Flickr/PK-REN)

Sriwijaya Air sebelumnya mengontrak pemeliharaan seluruh pesawat Boeing 737 kepada Singapore International Airlines Engineering Company (SIAEC) dan Malaysia Airlines (MAS).

Namun pihaknya mempercayakan pemeliharaan dan perbaikan pesawatnya kepada Garuda Maintenance Facilities atau GMF AeroAsia, anak perusahaan Garuda Indonesia yang notabene merupakan pesaingnya.

Saat maskapai ini tampak berkembang pesat, kabar buruk tiba-tiba muncul. Garuda Indonesia Group, pemilik GMF, mengambil alih pengelolaan Sriwijaya Air Group.

Hal ini diakibatkan belum terbayarnya biaya perawatan pesawat sebesar Rp 810 miliar. Kepengurusannya direorganisasi pada 2018. “Sejak itu, saya tidak lagi bergabung dengan Sriwijaya Air,” kata Chandra Lie kepada Tribunnews.

Dampak lainnya, Sriwijaya Air Group tidak lagi menerima layanan perawatan armada dari GMF sejak 25 September 2019.

Akibat kendala tersebut, operasional penerbangan Sriwijaya Ait langsung terhenti. Pesawat operasional dikurangi secara signifikan menjadi 24 unit, diikuti dengan rute penerbangan yang mulai ditinggalkan.

Maskapai ini terus berjuang untuk meraih kembali kejayaannya. Namun pada tahun 2020, pandemi Covid-19 berdampak pada seluruh aspek perekonomian hampir setiap negara di dunia.

Permasalahan bertambah ketika salah satu pesawat, SJ-182, jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari, menewaskan 56 penumpang dan enam awak.

Kepercayaan pelanggan berkurang dan kesuksesan juga memudar. Meski demikian, Sriwijaya Air terus berusaha bertahan.

Permasalahan keuangan pun berlipat ganda, hingga pada pertengahan tahun 2023 maskapai ini nyaris bangkrut. Untungnya, manajemen mendapat persetujuan dari krediturnya untuk melakukan restrukturisasi utang melalui penangguhan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Jumlah pesawat yang dioperasikan terus berkurang, hingga saat ini hanya enam pesawat yang beroperasi.

Sementara itu, salah satu pendirinya, Hendry Lie yang juga merupakan komisaris maskapai tersebut, telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi timah.  (Tribunnews.com/Wikipedia/BangkaPos)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *