Jalan Berliku PLTU Batu Bara Cirebon-1 Menuju Pensiun Dini

Kesepakatan awal penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 yang berkapasitas 660 megawatt bertenaga batubara tampaknya masih menemui jalan berliku.

Pemerintah Jakarta khawatir biaya penggantian pembangkit listrik tersebut dengan energi terbarukan dapat mencapai $1,3 miliar.

Upaya penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara ini dilakukan berdasarkan Just Energy Transition (JETP) atau Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan yang beranggotakan Indonesia, Senegal, Afrika Selatan, dan Vietnam.

Kemitraan ini memerlukan investasi, hibah dan pinjaman miliaran dolar dari anggota G7, bank multilateral, dan pemberi pinjaman swasta untuk mendukung transisi menuju perekonomian rendah karbon.

Mengurangi emisi batu bara, bahan bakar fosil paling kotor, dianggap penting jika dunia ingin mencegah dampak terburuk perubahan iklim.

Pemerintahan baru akan mulai menjabat pada bulan Oktober dan hal ini dapat semakin melemahkan peluang tercapainya kesepakatan mengenai Cirebon-1 sebelum pergantian pemerintahan.

“Jika tidak ditandatangani sebelum 20 Oktober, saya khawatir hal ini akan diabaikan,” kata Fabi Tumiwa, pakar energi terbarukan dan anggota tim teknis yang memberikan informasi kepada JETP.

Presiden terpilih Prabowo Subianto akan mulai menjabat pada tanggal tersebut. Namun, sejauh ini Prabowo belum mengomentari rencana penutupan tersebut dan jarang membahas kebijakan energinya.

Tim Kubu Prabowo belum memberikan komentar mengenai hal tersebut. Pada awal September, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah berusaha menyelesaikan kesepakatan Cirebon secepat mungkin, tanpa memberikan rinciannya.

Berdasarkan perjanjian JETP, negara-negara kaya menjanjikan $20 miliar untuk membantu Indonesia dalam transisi energi. Kenyataannya, dana tersebut baru disalurkan sebagian kecil. Sejauh ini, Indonesia merupakan negara yang menerima pendanaan terbanyak dibandingkan negara lain. Para pejabat khawatir kasus ini akan berubah menjadi kasus hukum

David Elzinga, Ketua Tim Program Regional Mekanisme Transisi Energi (ETM) di Asian Development Bank (ADB), sedang mengerjakan skema penutupan dini PLTU Cirebon-1. Dia mengatakan dia sedang mengupayakan perjanjian yang mengikat yang dapat diterima oleh pemerintah saat ini dan masa depan.

Perjanjian Cirebon sangat penting untuk program ini, karena ADB berencana menerapkan perjanjian serupa di negara lain, seperti Vietnam dan Filipina, serta pabrik lainnya di Indonesia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan operator pembangkit PT Cirebon Electric Power (CEP) harus mencapai perjanjian jual beli listrik baru. Kesepakatan itu belum tercapai hingga Juli 2024, kata Direktur CEP Joseph Pangalila.

PLN mengatakan perlunya perlindungan hukum yang lebih kuat dan peta jalan yang jelas untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap merupakan isu utama. Sebab, biaya pembangkitan listrik bisa meningkat hampir 90%.

Para eksekutif PLN juga khawatir bahwa kesepakatan tersebut dapat membuat mereka dikenakan tuntutan pidana di masa depan jika penyidik ​​antikorupsi melihat kesepakatan tersebut merugikan negara, kata Fabi Tumiwa.

“Kalau tidak hati-hati, ada pihak yang bisa mendapat masalah karena bisa merugikan negara,” ujarnya.

Pada bulan Juni, mantan CEO perusahaan energi milik negara PT. Pertamina, divonis sembilan tahun penjara karena menandatangani kontrak gas jangka panjang. Pengadilan menilai tindakan tersebut merupakan tindak pidana korupsi sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar 114 juta dolar. Kesepakatan Cirebon-1 akan menjadi percontohan

“Kami sangat ingin hal ini terjadi secepatnya, namun pada saat yang sama sangat penting untuk membuat transaksi pertama seefisien mungkin,” kata Ramesh Subramaniam, direktur jenderal ADB.

Beberapa bank swasta dikatakan bersedia berinvestasi dan serangkaian transaksi baru juga mungkin dimulai setelah kesepakatan Cirebon-1 selesai. ADB juga berencana menutup sekitar 30 pembangkit listrik tenaga batu bara lainnya di Indonesia, katanya.

“Meski butuh waktu, kami belajar banyak… dan kami sangat yakin bahwa transisi berikutnya akan lebih mudah.”

Cirebon-1 sebenarnya merupakan pembangkit listrik yang tergolong baru dan mulai beroperasi pada tahun 2012. Dengan adanya perjanjian ini, berarti pembangkit tersebut akan berhenti beroperasi pada tahun 2035, bukan pada tahun 2042 seperti rencana semula.

Meski lebih bersih dibandingkan PLTU lama, emisi dari Cirebon-1 dan PLTU lain di sekitar Jakarta sering kali dianggap sebagai penyebab polusi kronis di Indonesia.

Ae/hp (Reuters)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *