Laporan Tribunnews.com oleh jurnalis Abdi Lyanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polda Metro Jaya membenarkan adanya Pemberhentian atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap anggota polisi wanita atau polwan berinisial YFN.
Pemecatan YFN terjadi setelah ia memalsukan telegram rahasia (TR) dalam kasus penipuan terhadap Karim Sumarin, seorang petani di Subang, Jawa Barat.
Petani tersebut ditipu sebesar Rp 598 juta oleh FYN dan komplotannya dengan menjanjikan anak korban, Teti Rohaeti, akan lolos seleksi polisi tanpa ujian apapun pada tahun 2016.
“Terus adik saya YFN juga PTDH (dipecat) pada tahun 2017, tapi yang terjadi pada adik saya YFN, ini adalah pembuatan surat kabar dan berita palsu yang rahasia, akibat dari berita viral ini, yang dilakukan oleh lembaga hukum. pelaksanaan? “, kata sutradara. Humas Polres, Bagi Jurnalis, Selasa (21/05/2024). ,
Dalam aksinya tersebut, polisi YFN dibantu oleh seorang anggota aktif, seorang anggota polisi lainnya berinisial Aiptu HP dan seorang mantan anggota alias mantan anggota berinisial AS yang dipecat dari Polri.
Di AS, ia dipecat dari unit Bhayankara pada tahun 2004 karena keterlibatannya dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
Oleh karena itu, dalam kasus ini terdaftar pada perorangan dan bukan pada komisi resmi, kami jelaskan bahwa saudara laki-laki AS adalah PTDH pada tahun 2004 dan terkait dengan kasus narkoba saudara laki-laki AS, katanya.
Sementara penulis lainnya, Aiptu HP, kini menjalani prosedur peninjauan etik dan akan menghadapi sanksi terberat.
HP Aiptu ini merupakan anggota Polda Metrojaya dan sedang diproses apabila kliennya mempunyai kode etik dan komitmen profesional yang jelas serta akan diberikan sanksi seberat-beratnya, imbuhnya. ,
Pak Ade Ali menekankan bahwa praktik rekrutmen Polur berpegang pada prinsip Bersih, Transparan, Bertanggung Jawab dan Kemanusiaan (BETAH). Ade Ali mengatakan Polda Metro Jaya sudah transparan dalam menangani kejadian tersebut.
“Kami hanya transparan. Kapolri juga selalu menekankan profesionalisme dan selalu berpesan agar kami tidak melukai sentimen masyarakat. Kepercayaan masyarakat harus dijaga,” kata Ade.
Dalam hal ini, Pak Ade Ali juga menyerukan ketidakpercayaan terhadap praktik calo dalam proses perekrutan anggota Polur.
Pak Ade Ali mengatakan, yang menentukan lolos atau tidaknya seorang rekrutan adalah kemampuannya.
“Kami mengimbau masyarakat: Jangan percaya pada siapapun yang mengklaim bahwa Anda bisa mendapatkan anak Anda melalui rekrutmen polisi nasional melalui cara-cara curang. jelasnya, sehingga “yang menjadi korban bukanlah rakyat”. Anak tersebut bukan anggota polisi melainkan diutus untuk membantu seorang petani asal Subang, Jawa Barat. Karim Sumarin, 56, korban penipuan Rp 598 juta yang dilakukan Kelompok Polisi Wanita FYN, menunjukkan surat pengiriman dana kepada pelaku. Selasa (21 Mei 2024) di rumahnya di Subang. (TV Kompas)
Begitulah kisah sedih Karim Sumarin (56), petani asal Desa Wanakerta, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Ia mengaku diminta menyerahkan “dana fasilitasi” sebesar Rp 598 juta untuk merekrut putrinya menjadi polisi wanita (polisi).
Karrim mengaku memberikan uang tersebut kepada seseorang yang menjanjikan sang anak akan menjadi anggota Polri.
Dia mengatakan, dua pelaku penyerangan adalah anggota aktif Polri.
Sedangkan satu orang lainnya merupakan mantan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (PTDH) yang diberhentikan secara tidak hormat.
Dalam Dialog Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Selasa (21 Mei 2024), Karlim menyebut uang Rp 598 juta yang diserahkannya merupakan hasil penjualan sawah dan kebun.
Menurut Karlimi, peristiwa itu terjadi pada tahun 2016.
Saat itu, kata dia, tetangganya di kampung, Asep Sudirman, mantan anggota Polri datang berkunjung.
“Awalnya saya tidak tertarik anak saya mendaftar ke polisi, jadi Pak. Taliyah dan Bpk. Asep datang untuk mencoba mendaftarkan anak saya ke polisi,” kata Karlim.
Kahlim melanjutkan, penolakannya karena saat itu ia merasa tidak punya uang untuk mendaftar.
Namun terduga pelaku menawarkan Karlim untuk menjual sawah dan kebunnya.
“Awalnya saya menolak karena tidak punya uang, tapi dia bilang: ‘Kamu bisa menjual kebunnya, kamu bisa menjual sawahnya, kamu bisa membuat modal.’
Menurut Karlim, uang itu diberikannya kepada dua tersangka berbeda, satu kepada Asep melalui transfer bank dan satu lagi kepada Aiptu Heni P, anggota Polres Metro Jakarta Barat, secara tunai.
Dia bertanya padaku terlebih dahulu. Pertama dia minta uang Rp 200 juta kepada saya dan ditransfer ke rekening Pak Asep Sudirman. Ia kemudian mengirimkan uang Rp 300 juta ke rumah yang dimilikinya yakni. “Saya suruh mereka mengantarkan rumah Bu Heni P ke asrama polisi Carideres,” jelasnya.
“Uangnya. Bu Heni menghitung uangnya dan membuat kwitansi.”
Sedangkan sisanya sebesar Rp98 juta diserahkan kepada Bripka Yulia Fitri Nasution alias Bripka YFN. ,
Meski menyerahkan uang ratusan juta rupee, anak tersebut tak kunjung lulus menjadi anggota Polri.
Padahal, menurut dia, anak tersebut sebenarnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh di rumah Bribka YFN yang saat itu bekerja di Polres Metro Jakarta Selatan.
“Saya bekerja sebagai pembantu dan babysitter.” “Awalnya saya berpikir untuk bergabung dengan polisi dan mengikuti ujian polisi, tetapi saya menyadari bahwa orang-orang di Jakarta dijadikan pembantu dan pengasuh anak.”
“Belum dicatat atau diproses,” imbuhnya.
Menurut Karlimi, anak tersebut dipekerjakan di rumah Julia atas perintah Anton dan Heni.
“Di rumah Ibu Julia Fitoria Nasution, atas perintah Pak Anton dan Bu Heni, juga ada satu kesatuan polisi dengan Bu. Heni”.
Ia mengatakan putrinya saat ini tinggal di desa dan tidak memiliki pekerjaan.