TRIBUNNEWS.COM – Program pemerintah bernama Implementasi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat dibanjiri kritik bahkan penolakan di sejumlah pihak.
Sebab, protes sangat terasa karena program Tapera akan memotong gaji pekerja sebesar 3 persen setiap bulannya atas iuran mereka.
Kebijakan ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 pada tahun 2024.
PP menjelaskan, gaji pegawai seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pegawai swasta, dan pekerja lepas akan dipotong untuk dimasukkan ke rekening dana Tapera.
Ia juga menjelaskan, dari potongan wajib sebesar 3 persen, sebesar 2,5 persen ditanggung oleh peserta atau karyawan.
Sedangkan sisanya sebesar 0,5 persen akan dibebankan kepada pemberi kerja atau perusahaan.
Sedangkan bagi peserta mandiri atau pekerja lepas, menjadi tanggung jawabnya sendiri sebagaimana diatur pada ayat 3.
Dasar hukum peraturan ini adalah UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, berhak mendapat tempat tinggal, mendapat lingkungan hidup yang baik, sehat, dan berhak mendapat pelayanan kesehatan.”
Lantas, apakah Tapera akan dibatalkan karena banyak pihak yang tidak setuju dan banyak dikritik?
Sejumlah pihak berpendapat bahwa program Tapera tidak boleh dibatalkan atau dibatalkan.
Namun, pemerintah memandang perlu adanya sosialisasi massal.
Seperti yang dikatakan Anggota Komisi
“Saya melihat PP (Peraturan Pemerintah) ini tidak perlu dibatalkan, cukup disosialisasikan saja,” kata Kamrussamad.
Menurut Kamrussamad, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengatakan, program Tapera perlu disosialisasikan lebih mendalam.
Sebab, menurut Airlangga, kontribusi Tapera memberikan banyak manfaat.
Ia mengatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono akan melakukan sosialisasi.
“Jadi sosialisasinya harus lebih mendalam lagi, agar pegawai mengetahui apa saja yang didapat dalam program Tapera,” jelas Airlangga.
“Nanti perlu sosialisasi baik melalui Menteri Keuangan, Menteri PUPR, karena ujung tombaknya sudah ada,” tutupnya.
Senada dengan itu, Asosiasi Pembangunan Perumahan dan Kebijakan Publik (Himperra), menghimbau pemerintah dan lembaga terkait seperti Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) untuk lebih aktif menggalakkan program Tapera di tengah masyarakat, khususnya di kalangan pekerja.
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Himperra, Ari Tri Priyono mengatakan, hal ini bertujuan agar program Tapera tidak menjadi isu liar dan menjadi polemik dan kontroversi di masyarakat.
Sementara itu, sosialisasi niat tersebut antara lain menyoroti kontribusi Tapera dan manfaat yang dirasakan pesertanya.
“Aturan ini sudah ada sejak lama. Lima tahun lalu program itu sudah disetujui. Namun, tidak bisa serta merta dilaksanakan. Saya kira hanya sebatas sosialisasi saja.”
Sosialisasi ini tentu ada di BP Tapera. Harus disampaikan dengan baik, kata Ari usai pelantikan dan pengukuhan pengurus DPP Himperra periode 2023-2027 di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Rabu, 29 Mei . , 2024.
Sementara itu, Presiden Jokowi sendiri menilai kelebihan dan kekurangan kebijakan pemerintah adalah hal yang wajar, namun hal tersebut akan dirasakan oleh kaum buruh ketika Tapera diterapkan.
“Iya semua sudah diperhitungkan, ini biasa saja, dalam kebijakan baru pasti masyarakat akan memperhitungkan, mampu atau tidak, sulit atau tidak,” kata Jokowi beberapa waktu lalu.
Program Tapera diketahui belum akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Setelah mendapat banyak keberatan dari para buruh dan pengusaha, mereka mengatakan pemerintah terlebih dahulu mendengarkan pendapat berbagai pemangku kepentingan dan tidak serta merta mengeluarkan peraturan teknis terkait Tapera. Partai Buruh menilai jika Tapera dipaksakan akan merugikan kompetitor
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, program Tapera belum layak diterapkan saat ini.
Sebab, Said menilai belum ada kejelasan terkait program Tapera, apalagi soal kepastian peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah mengikuti program Tapera.
Said Iqbal dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Rabu (29/5/2024), “Jika dipaksakan dapat merugikan pegawai dan peserta Tapera).
Said mengatakan, berdasarkan akal sehat dan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen tidak cukup bagi karyawan untuk membeli rumah di usia pensiun atau saat terkena PHK.
Saat ini rata-rata gaji pekerja Indonesia sebesar Rp 3,5 juta per bulan.
Jika dipotong 3 persen per bulan, maka iurannya sekitar 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000.
Jadi, dalam 10 tahun hingga 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
Pertanyaan besarnya adalah apakah dalam 10 tahun ke depan akan ada harga rumah senilai 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan.
“Kalaupun keuntungan usaha ditambah dengan ekonomi sosial Tapera, uang yang terkumpul tidak akan bisa digunakan para pekerja untuk memiliki rumah,” ucapnya.
Kemudian Said mengatakan, kontribusi kepemilikan rumah sebesar 3 persen dinilai mustahil bagi peserta Tapera.
“Jadi dengan iuran 3 persen yang ditujukan untuk menjamin pegawai mempunyai rumah, maka tidak mungkin pegawai dan peserta Tapera mempunyai rumah.”
“Apapun beban pemotongan gaji buruh setiap bulannya, ketika pensiun atau dipecat, Anda tidak akan bisa memiliki rumah,” pungkas DPR meminta masyarakat juga mengkritik pemerintah jika keberatan.
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron meminta masyarakat ikut mengkritik pemerintah.
Jika mereka menentang aturan Tapera tentang pemotongan gaji, pemerintah bisa merevisi aturan yang mereka tetapkan.
“Iya itu yang tadi saya sampaikan, tolong sampaikan kepada masyarakat, mohon pendapatnya, agar pemerintah benar-benar bisa merumuskannya.”
Kalaupun nanti aturan-aturan itu bisa kita kaji ulang, kita bisa merumuskan kembali aturan-aturan yang sesuai, kata Herman saat ditemui awak media di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Meski diakui Herman, aturan ini bermanfaat bagi masyarakat karena dapat membantu pemilik rumah, namun ia berharap hal tersebut tidak membebani masyarakat dengan pemotongan gaji.
“Karena perumahan juga penting bagi masyarakat, namun tidak boleh menjadi beban masyarakat, kelompok berpendapatan rendah,” ujarnya.
Sebelumnya, Herman juga mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang pemotongan iuran yang dikenakan kepada pegawai berdasarkan aturan Tapera.
Sebab, sebagian besar pekerja sektor swasta sudah mendapat banyak potongan gaji.
“Iya kalau kita lihat saat ini ya, banyak kewajiban yang harus dibebankan, wajib. Ada BPJS, lalu ada tabungan pensiun internal, dan ada pungutan lainnya,” kata Herman. Lihat foto Presiden Jokowi yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penerapan Tapera. Dalam Pasal 55 PP yang ditandatangani pada 20 Mei 2024, Jokowi mengatur setiap pegawai yang berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah dan memiliki penghasilan minimal upah minimum harus menjadi peserta Tapera. TRIBUNNEWS/WILLY WIDIANTO/BAYU PERMANA
(Tribunnews.com/Rifqah/Rizki Sandi/Chaerul Umam/Rahmat Fajar/Endrapta Ibrahim)