Pemerintah sedang mengembangkan peraturan baru mengenai dana pensiun tambahan wajib yang akan mengurangi upah pekerja. Namun, rencana tersebut dikritik dan ditolak oleh para pekerja yang khawatir bahwa mereka akan menghadapi beban ekonomi yang semakin besar.
Para ekonom, ahli jaminan sosial dan undang-undang ketenagakerjaan sepakat bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberlakukan pembayaran tambahan wajib.
Kelas menengah, yang kemungkinan besar menjadi sasaran kebijakan ini, berada di bawah tekanan: sekitar 9,5 juta orang putus sekolah dalam lima tahun terakhir.
“Beban pembayaran tambahan pada pekerja semakin meningkat, namun pemerintah tidak memperhatikan pertumbuhan upah. “Sehingga upah riil pekerja akan turun dan daya beli akan turun,” Andrico Otang, direktur eksekutif Trade Union Rights Center (TURC), mengatakan kepada BBC News Indonesia, Jumat (06/09).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan peraturan pemerintah mengenai hal tersebut masih dalam tahap pengembangan, namun juga mencatat dana pensiun wajib ini akan disalurkan melalui lembaga pengelola non bank berupa Dana Pensiun Pengusaha (DPPK). .
Menurut Pengawas Jaminan Sosial Timboel Siregar, pembayaran dana pensiun wajib tidak akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK).
“Kita sudah memiliki jaminan pensiun yang dikelola BPJS-TK, namun belum maksimal pelaksanaannya. Malah pemerintah membuat program wajib baru,” kata Timboel.
Bagi banyak pekerja, meningkatkan iuran dana pensiun bukanlah prioritas saat ini karena manfaatnya tidak akan terasa hingga beberapa dekade mendatang.
Mereka saat ini mendapat tekanan dari kenaikan upah yang tidak sejalan dengan inflasi, ancaman PHK, dan berbagai permasalahan jaring pengaman sosial yang sudah mulai terjadi.
“Pemotongan ini akan menghapus kenaikan gaji saya di masa depan,” kata Abi, bukan nama sebenarnya, seorang pekerja kelas menengah berusia 31 tahun di Jakarta.
Filani, 32 tahun, yang terkendala pembayaran Jaminan Kesehatan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) BPJS-TK, juga menyuarakan kritik serupa.
Menurut dia, sebaiknya pemerintah menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu, bukan menuntut program baru.
“Masih ada perusahaan yang menunggak pembayaran atau tidak membayar iuran JHT dan JP. “Saya sudah bekerja hampir empat tahun, gaji saya dinaikkan tiga kali lipat, tapi ternyata yang dilaporkan perusahaan ke BPJS-TK tetap UMR, jadi nilainya sama,” kata Filani.
Sementara itu, ekonom Esther Sri Astuti dari Institute for Economic and Financial Development (Indef) mengingatkan pemerintah untuk “memberi ruang bernapas” kepada kelas pekerja.
Kebijakan seperti itu, menurut Esther, hanya akan memicu spekulasi bahwa pemerintah berupaya memaksimalkan pendapatan masyarakat di tengah ruang fiskal APBN yang semakin ketat.
“Dana pensiun ini jangka waktunya panjang, jadi masyarakat diminta berinvestasi dulu, baru bisa menjadi sumber pembiayaan jangka panjang,” kata Esther. Mengapa ada manfaat pensiun tambahan?
Menurut OJK, rencana tersebut merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan. Skema ini memastikan bahwa pemerintah dapat memperkenalkan skema pensiun tambahan yang wajib.
Pasal 4 Pasal 189 undang-undang mengatur bahwa program pensiun tambahan wajib ini dapat dikenakan kepada pegawai dengan penghasilan tertentu.
Ogi Prastomiyono, Pengawas Asuransi, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, mengatakan manfaat yang diterima pensiunan saat ini masih tergolong kecil.
“[Tunjangannya] hanya sebesar 10-15% dari pendapatan aktif [bekerja] terakhir,” kata Augie dalam konferensi pers, Jumat (06/09).
“Meskipun upaya untuk meningkatkan perlindungan terhadap lansia juga berkontribusi terhadap kesejahteraan secara keseluruhan, ILO [Organisasi Buruh Internasional] menggunakan tolok ukur ideal sebesar 40 persen,” lanjutnya.
Namun sejauh ini, kata dia, belum ada ketentuan batasan penghasilan pegawai yang dikenakan iuran wajib.
“Belum, karena PPnya belum terbit,” kata Ogi.
Sebelumnya, dilansir Detik.com, Ogi mengatakan aturan tersebut akan dirilis pada Januari 2025.
Rencana investasinya masih belum jelas, namun menurut Ogi, arahannya ada di Dana Pensiun Pengusaha (DPPK).
Misalnya, terdapat dua jenis lembaga keuangan non bank yang dapat mengelola dana pensiun di Indonesia, yaitu DPPK dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
DPKK ini dibuat oleh perusahaan untuk sebagian atau seluruh karyawannya.
Sedangkan DPLK didirikan oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk masyarakat umum, baik pegawai maupun wiraswasta. Contoh DPLK adalah Jivaraya. Apa bedanya dengan investasi BPJS-TK?
Dari segi manfaat yang diterima peserta, Ogi mengatakan tambahan iuran dana pensiun ini akan serupa dengan Jaminan Pensiun (JP) BPJS-TK.
Artinya peserta menerima pembayaran bulanan setelah pensiun.
“Jadi berbeda dengan Jaminan Hari Tua BPJS-TK yang bisa diambil tunai [sekali jalan] saat pensiun,” kata Ogi.
Namun Andrico Otang dari TURC dan pengawas jaminan sosial Timboel Siregar memberikan komentar penting mengenai dana pensiun wajib ini.
Jika arahan pengelolaannya memang dilakukan oleh DPKK maka akan menjadi investasi wajib baru, terpisah dari investasi BPJS-TK oleh JP dan JHT.
Artinya, pekerja yang tercakup dalam kebijakan ini kemungkinan besar akan membayar iuran pensiun kepada dua penyedia berbeda.
“Apa pun logika yang dipisahkan oleh pemerintah, pemerintah harus menjelaskan mengapa tambahan dana pensiun ini dipisahkan dari program jaminan pensiun [BPJS] yang ada,” kata Andrico.
“Perusahaan juga akan keberatan, mereka sudah membayar iuran DPLK/DPPK, tapi kenapa harus membayar iuran BPJS-TK lagi? “Ini dua kali lipat,” katanya.
Mekanisme pengelolaan dana pensiun antara BPJS dan DPLK/DPPK juga berbeda, kata Timboel dan Andrico.
BPJS merupakan badan hukum publik untuk jaminan sosial. Mereka mungkin mencari keuntungan, namun mengembalikannya kepada pekerja sebagai penerima manfaat.
Sedangkan DPLK/DPPK lebih berorientasi pada keuntungan karena dikelola oleh badan usaha.
Bentuk pertanggungjawabannya pun berbeda-beda. BPJS berada di bawah tanggung jawab langsung Presiden.
Jika BPJS mengalami kekurangan, pemerintah bisa memberikan suntikan APBN sebagai bentuk pertanggungjawaban. Sedangkan DPLK/DPPK dikendalikan oleh OJK.
“Jika mereka tidak bisa berinvestasi, siapa yang bertanggung jawab?” DPPK dan DPLK banyak yang dimusnahkan, kini tambahan dana pensiun digunakan di sana. Siapa yang mau bertanggung jawab?” Timboel berkata:
Kasus gagal bayar dan korupsi di Jivaraya sedikit banyak menggambarkan risiko ini.
Ada juga praktik dimana perusahaan justru menggunakan manfaat pensiun melalui DPLK/DPPK untuk menutupi pembayaran pesangon karyawan yang terkena PHK.
“Kalau begitu, bukan maksud DPPK dan DPLK pensiun,” kata Thimboel.
Masalahnya, dia masih menilai kontrol dan penegakan praktik ini masih lemah.
“Jadi tidak ada kepastian bagaimana mereka akan menangani uang negara. Sementara DPLK/DPPK saat ini banyak yang berantakan. Pemerintah membayar pekerja, tapi tidak bisa menjamin risikonya,” kata Timboel. Menambahkan pengurangan akan membunuh kenaikan gaji
“Apa lagi ini? Tambahkan saja potongannya,” kata Abi, 31, seorang pekerja swasta di Jakarta, ketika pertama kali mendengar tentang tambahan dana pensiun.
Abi, bukan nama sebenarnya, mengaku kesal dan terganggu dengan wacana politik tersebut. Hanya pemotongan saat ini yang melebihi kenaikan gaji.
Menurut Abi, gajinya akan naik sekitar Rp400.000 pada awal tahun 2024 sebagai penyesuaian inflasi.
Setiap bulan iuran JHT dipotong Rp 174.000, JP Rp 87.000, dan BPJS Kesehatan Rp 217.500. Jumlah inilah yang dibebankan kepadanya sebagai pekerja di luar perawatan perusahaan.
Hal ini tidak berlaku pada pemotongan lainnya seperti PPh 21 yang juga bersifat wajib.
‘Pemotongannya sekarang lebih besar dari kenaikan gaji tahunan. Kalau dana pensiun ini kita tambah, Tapera, pemotongannya akan semakin menghapus kenaikan gaji saya,” kata Abi.
Menabung untuk masa pensiun bukanlah prioritas utama Abi saat ini karena ia masih perlu menabung untuk dana darurat. Selain itu, Abi juga mengkhawatirkan adanya ancaman PHK yang tersembunyi bagi karyawannya.
Untuk saat ini, investasi JHT dan JP merupakan satu-satunya persiapan pensiun Abi.
Sementara itu, Filani, 32 tahun, mengatakan pemerintah sebaiknya fokus pada perbaikan pengelolaan sistem jaminan sosial yang ada dibandingkan membuat kebijakan baru.
Usai dipecat, Filani mengetahui perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya telah melaporkan gajinya ke UMR. Gajinya bahkan meningkat tiga kali lipat.
Saat hendak mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (APR), pihak perusahaan tidak pernah menyerahkan surat keterangan bahwa ia dipecat dari Dinas Ketenagakerjaan.
Bagi Filani, meski memikirkan pensiun, masa kini terasa berat.
“Bahkan hal seperti itu tidak menyelesaikan masalah, jadi Anda ingin peraturan baru.
Pekerja lainnya, Maryam Zahida, 32 tahun, juga berpendapat serupa. Ia menilai investasi dana pensiun tambahan belum mendesak saat ini.
Selama bekerja, ia mengaku rutin menyisihkan penghasilannya untuk ditabung, termasuk dana pensiun.
Namun pada tahun 2023, Merriam diberhentikan sehingga menyadarkannya bahwa ada permasalahan terkait pekerjaan lain yang lebih mendesak untuk ditangani pemerintah, yaitu keamanan kerja.
“Pemerintah siapa yang akan membayar jika banyak orang kehilangan pekerjaan?” “Pemerintah cukup menaikkan pajak bagi masyarakat menengah, lebih baik menaikkan pajak lebih tinggi bagi masyarakat kaya,” kata Meryam.
Menurut Andrico Otang, Direktur TURC, reaksi tersebut sangat wajar dan dapat dipahami karena datang dari kalangan pekerja dan kelas menengah.
Pekerja dengan upah rata-rata akan mempunyai prioritas jangka pendek, sementara pemerintah tampaknya ingin pekerja berpikir jangka panjang.
“Pemerintah perlu melihat kenyataan: apakah mereka tidak mempunyai cukup sumber daya untuk membiayai sumber daya tambahan?” “Jika dipaksakan, para pekerja tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya,” ujarnya.
Sementara rata-rata pertumbuhan upah minimum regional (UMP) pada tahun 2015-2024 hanya sebesar 6,6% per tahun.
“Kebutuhan jangka pendeknya belum terpenuhi, kenapa berpikir jauh-jauh hari?” “Kalau kelas pekerja mengkritik, jangan salahkan mereka agar uangnya tidak disalurkan ke hal lain,” kata Andrico. Apakah Anda perlu menambah iuran dana pensiun?
Pada prinsipnya manfaat pensiun yang diwajibkan pemerintah melalui sistem jaminan sosial BPJS-TK saat ini belum ideal untuk jangka panjang.
Menurut Timboel, besaran iuran BPJS idealnya ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai 8% sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015.
Jika tidak, BPJS bisa mengalami kekurangan pada tahun 2072 dan tidak mampu membayarkan manfaat kepada pensiunan pekerja.
Namun hampir sepuluh tahun kemudian, pemerintah masih belum menemukan solusi.
Saat ini iuran JHT sebesar 5,7% dari gaji, dimana 2% ditanggung oleh karyawan dan 3,7% oleh perusahaan.
Untuk JP iurannya sebesar 3%, 1% ditanggung oleh karyawan dan 2% oleh perusahaan.
Selain mencegah defisit, peningkatan besaran manfaat juga dinilai penting agar penerima manfaat dapat menerima dana pensiun yang lebih memadai.
Hal ini dapat mengurangi kemungkinan generasi berikutnya menjadi “generasi sandwich,” kata Andrico.
Namun, Andrico mengatakan skema baru tersebut bukanlah solusi dari permasalahan tersebut jika pemerintah memang berniat membuat masa pensiun pekerja menjadi lebih sejahtera.
“Harusnya diintegrasikan saja dengan apa yang sudah ada di BPJS-TK,” kata Andrico.
“Jika pemerintah ingin menerapkan hal ini, alternatifnya adalah dengan menerapkan batas pendapatan yang lebih rendah. Sehingga masyarakat yang pendapatannya tidak mencukupi tidak akan menderita. Jika gaji bulanan korban melebihi 25 juta dram, tidak akan ada tanggapan. sangat besar.”