Israel Serang Rafah, Analis: Netanyahu Lebih Pentingkan Koalisinya daripada Buat Biden Senang

TRIBUNNEWS.COM – Israel memulai invasinya ke Rafah.

Pada Senin malam (06-05-2024) Israel melancarkan serangan udara ke Rafah.

Kemudian keesokan paginya, tank-tank Israel menyerbu perbatasan Rafah, jalur utama pengiriman bantuan dan evakuasi yang menghubungkan Gaza ke Mesir.

Serangan ini terjadi tak lama setelah Presiden AS Joe Biden meminta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk tidak menyerang Rafah.

Selama 8 bulan perang, Israel semakin menunjukkan sikap “tidak patuh” terhadap sekutu utamanya, Amerika Serikat.

Faktanya, Israel merupakan penerima bantuan militer AS terbesar di dunia.

Menurut laporan, Amerika Serikat setiap tahunnya memasok senjata dan sistem pertahanan senilai $3,8 miliar ke Israel.

“Kita berbicara tentang betapa buruknya kredibilitas Amerika dan kepemimpinan Amerika jika kita tidak mendukung Ukraina,” kata Matt Duss, wakil presiden Pusat Kebijakan Internasional, kepada majalah Time pada bulan Maret.

“Hal yang sama juga berlaku di sini. Ketidakmampuan kami untuk memberikan pengaruh yang berarti terhadap Israel – sebuah negara yang sangat bergantung pada dukungan AS – juga sangat merugikan.” Gambar ini, diambil dari rekaman yang dirilis oleh tentara Israel pada 7 Mei 2024, menunjukkan tank dari Tim Tempur Brigade 401, yang berpatroli di sisi Palestina di perbatasan Rafah yang melintasi antara Gaza dan Mesir di Jalur Gaza selatan pada tanggal 7.AFP /FAYEZ NURELDINE)

Eskalasi Israel terjadi di tengah harapan akan tercapainya gencatan senjata.

Hamas mengatakan pihaknya menerima kesepakatan untuk mengakhiri konflik yang diusulkan oleh Qatar dan Mesir.

Menurut juru bicara Gedung Putih John Kirby, Biden mengatakan kepada Netanyahu bahwa Amerika Serikat tidak akan mendukung operasi darat di Rafah kecuali Israel menunjukkan rencananya untuk melindungi kehidupan warga sipil.

Pada hari Senin, pasukan Israel memperingatkan warga sipil di Rafah timur untuk mengungsi, yang mengindikasikan serangan mungkin akan segera terjadi.

Untuk saat ini, serangannya terhadap Rafah tampaknya lebih terbatas dibandingkan invasi darat yang diperingatkan Biden.

Namun, Israel mengindikasikan bahwa tekanan AS tidak cukup untuk mengakhiri serangannya terhadap Rafah, lapor Wall Street Journal.

Sebelum serangan itu, Amerika Serikat menahan pasokan amunisi ke Israel.

Namun ternyata itu tidak cukup. Kesenjangan yang semakin besar antara AS dan Israel

Joe Biden awalnya menawarkan dukungan penuh kepada Israel setelah serangan 7 Oktober.

Namun seiring berjalannya waktu, perbedaan antara Biden dan Netanyahu mengenai cara menghancurkan Hamas menjadi semakin jelas.

Biden berusaha membendung Israel dan menghentikan serangannya.

Serangan Israel di Gaza telah menewaskan puluhan ribu warga sipil, menurut pejabat kesehatan Gaza, memicu gelombang protes di kampus-kampus Amerika dan mengikis dukungan terhadap Israel secara internasional.

Kekhawatiran bahwa konflik tersebut dapat meningkat menjadi perang regional yang lebih luas masih tetap kuat.

Namun Netanyahu melihat hal-hal yang berbeda dari Biden.

Israel mengklaim bertekad menghancurkan enam batalyon Hamas yang dikatakannya bersembunyi di Rafah.

Selain itu, Netanyahu telah menolak seruan untuk membentuk negara Palestina setelah perang.

Meski langkah tersebut didukung oleh Amerika Serikat dan sekutu penting Amerika lainnya di Timur Tengah, yakni Arab Saudi.

Arab Saudi juga menjanjikan kesepakatan untuk menormalisasi hubungan jika Israel menyetujuinya.

Amerika Serikat mengatakan bahwa merundingkan gencatan senjata dengan Hamas adalah cara terbaik untuk menyelamatkan nyawa para sandera Israel yang masih berada di Gaza.

Namun Netanyahu tampaknya memprioritaskan tuntutan kebijakan kabinetnya dibandingkan saran yang dia terima dari Biden, menurut para analis.

Koalisinya rapuh dan dia bergantung pada dukungan dari anggota parlemen sayap kanan yang menyerukan serangan terhadap Rafah.

“Perhitungan Netanyahu lebih terfokus pada mempertahankan koalisinya daripada membuat Joe Biden senang,” kata Aaron David Miller, mantan negosiator perdamaian AS yang sekarang bekerja di Carnegie Endowment for International Peace, kepada Wall Street Journal.

Sementara itu, Netanyahu berada di bawah tekanan untuk melindungi nyawa para sandera.

Masih ada kemungkinan Israel akan berusaha mencapai kesepakatan gencatan senjata dan tidak melancarkan invasi yang lebih luas.

The New York Times, mengutip para pejabat pemerintahan Biden, melaporkan bahwa prospek gencatan senjata yang berlangsung cepat pada akhir pekan kemungkinan merupakan bagian dari upaya untuk mendapatkan pengaruh di meja perundingan.

Namun jika Netanyahu tetap melanjutkan ancamannya untuk menyerang Rafah, konsekuensinya bagi Amerika Serikat bisa sangat buruk, kata para ahli. Kolase foto Presiden AS Joe Biden (kiri) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan) (Tribunews Collage/AFP)

Perang Gaza telah berulang kali mengancam akan berubah menjadi konflik regional yang lebih luas.

Penderitaan baru warga sipil di Rafah dapat menambah ancaman tersebut.

Sementara itu, pengaruh global Biden bisa terkikis jika Netanyahu terus mengabaikan peringatannya.

Dave Harden, mantan kepala misi di Badan Pembangunan Internasional AS di Tepi Barat dan Gaza, baru-baru ini mengatakan kepada BBC bahwa Netanyahu memperlakukan Biden hampir seperti sekretaris kedua yang tidak penting bagi negara-negara berperingkat lebih rendah di Eropa.

Batasan pengaruh Biden terhadap tindakan Netanyahu akan menjadi semakin jelas, katanya.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *