TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Guna mengoptimalkan kepatuhan wajib pajak (WP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki sistem bernama Compliance Risk Management (CRM).
CRM merupakan suatu sistem yang dirancang untuk mengelola risiko ketidakpatuhan wajib pajak dengan membuat profil risiko wajib pajak yang lebih akurat.
Partner Pajak RSM Indonesia Eny Susetyoningsih menjelaskan, untuk mengoptimalkan undang-undang perpajakan bagi wajib pajak, wajib pajak terlebih dahulu harus mampu memahami aturan dan kebijakan perpajakan, mengingat penerbitan aturan perpajakan yang semakin dinamis.
Eni mengatakan masih adanya kemungkinan wajib pajak belum mendapatkan sosialisasi perpajakan terkini dan pengetahuan wajib pajak yang masih minim mengenai peraturan dan kebijakan perpajakan sehingga peran penasihat pajak sangat diperlukan. Dengan bantuan penasihat pajak, identifikasi masalah dan data atau informasi yang perlu diisi oleh wajib pajak akan dibahas.
“Jika wajib pajak kemudian menerima surat permintaan penjelasan data dan/atau informasi (SP2DK), penting juga untuk memahami cara berkomunikasi dengan petugas tempat pemeriksaan, membuat laporan, dan mengetahui konsekuensi jika memberikan. penjelasan. selama waktu yang ditentukan. jelas Eni dalam webinar bertajuk “Manajemen Risiko Sengketa Pajak Sehubungan dengan Penerapan Sistem Dasar Perpajakan” yang diselenggarakan RSM Indonesia pada Kamis (16/05/2024).
Lebih lanjut, Tax Partner RSM Indonesia T Qivi Hady Daholi mengatakan perwujudan DJP sebagai data-driven Organization adalah dengan adanya CRM. Pada dasarnya, DJP adalah data-driven, semuanya harus data-driven, dan CRM adalah alat untuk langkah/indikator yang terukur. Alat untuk mengukur kepatuhan. Jika WP tidak memenuhi pedoman CRM, tindakan lebih lanjut akan diambil.
Oleh karena itu, menurut Qivi, penting bagi wajib pajak untuk lebih memperhatikan ketentuan penerapan CRM. Qivi menjelaskan, wajib pajak harus mewaspadai setidaknya 6 peta risiko kepatuhan CRM berdasarkan fungsinya. Dalam setiap fungsinya, kata Kiwi, penting bagi wajib pajak untuk berbuat lebih banyak untuk terus mengoptimalkan kepatuhan pajak.
Pertama, pada CRM Compliance Risk Map fungsi Ekstensifikasi kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (OPWP), penting untuk memastikan NIK Anda menjadi NPWP. Hal ini memudahkan masyarakat untuk tidak perlu mendaftar ke KPP, termasuk melaporkan penghasilan, harta, dan kewajiban dalam SPT Tahunan Wajib Pajak.
Kedua, Wajib Pajak yang menjalankan fungsi pelayanan harus membangun sistem administrasi perpajakan yang baik di dalam negeri, mulai dari pendaftaran PKP, pelaporan tepat waktu, pembayaran, dan pelaporan yang benar.
Ketiga, dalam fungsi keterbukaan pajak, wajib pajak dapat melakukan upaya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang telah diidentifikasi oleh KPP jika namanya masuk dalam daftar potensi prioritas intelijen (DSP3).
Keempat, menurut Qivi, untuk fungsi pemeriksaan dan fungsi pengawasan terhadap wajib pajak, yang penting tidak hanya memiliki sistem administrasi perpajakan yang baik, tetapi juga berkonsultasi dengan konsultan pajak dan bekerja sama dengan fiskus jika masuk dalam DSP3.
Kelima, Qivi menjelaskan dalam fungsi penagihan, wajib pajak harus memiliki disiplin rencana pembayaran terkait angsuran dan penangguhan utang pajak untuk menjaga arus kas perusahaan, serta mengajukan permohonan pengurangan atau keringanan sanksi administrasi.
Keenam, ketika menerapkan CRM transfer pricing, penting bagi wajib pajak untuk menyiapkan dokumentasi TP, seperti dokumen induk, dokumen lokal, dan laporan negara, serta memastikan bahwa dokumentasi TP dilaporkan sesuai tenggat waktu sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.
Pasalnya, mulai 1 Juli 2024 Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan memperkenalkan Sistem Dasar Administrasi Perpajakan (CTAS). CTAS menggantikan sistem lama yaitu Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.