Laporan jurnalis Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP) yakni Rancangan Keputusan Menteri Kesehatan (RPMK) dapat diperhitungkan. menjadi ancaman bagi industri rokok nasional. .
Untuk itu, Federasi Serikat Pekerja Industri Rokok dan Makanan Tembakau Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) siap turun ke jalan menolak penolakan tersebut.
Ketua Umum FSP-RTMM-SPSI Sudarto mengungkapkan PP dan peraturan kesehatan tersebut tidak memenuhi aspirasi menteri karena tidak dilibatkannya pemangku kepentingan dalam penyusunannya.
Saat RPMK dibuat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diklaim tidak melibatkan serikat pekerja dalam pembuatan aturan tersebut.
Pihaknya terpaksa mengikuti audiensi publik yang digelar Kementerian Kesehatan beberapa hari lalu.
Mereka mengatakan inilah cara organisasi buruh memperjuangkan partisipasinya.
Dalam kegiatan tersebut, Sudart menemukan aturan yang ditetapkan lebih ketat dan tidak mengikuti aturan sebelumnya.
Ia menyoroti aturan kemasan polos tanpa merek yang diatur dalam RPMK.
Sudarato yakin kebijakan ini akan berdampak signifikan terhadap industri rokok dan para pekerja yang bergantung padanya.
“Kami merasa hak-hak kami tidak terlindungi dengan baik dan kami melakukan protes,” kata Sudarto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9 Desember 2024).
“Kami akan mengambil langkah tegas dalam langkah selanjutnya, namun kami perlu berkonsultasi dengan mitra industri. Kami juga punya LBH sendiri. “Kalau memang suka bergerak di jalan, tidak apa-apa,” ucapnya.
Namun, sebelum melanjutkan, FSP-RTMM-SPSI bermaksud untuk terus berhubungan dengan pihak-pihak yang terlibat dan harus mempertimbangkan litigasi jika upaya ini tidak berhasil.
“Pertama, kami ingin menempuh jalur diplomasi, namun jika gagal, kami siap bertindak lebih tegas,” kata Sudaroto.
Sudarato mengatakan meski enggan, para buruh tak segan-segan turun ke jalan.
“Apa yang bisa dilakukan jika komunikasi gagal,” kata Sudarato.
Aksi turun ke jalan itu dipertimbangkan setelah pihaknya mengirimkan surat kepada beberapa pengambil keputusan seperti Presiden Jokowi dan DPR.
Kontroversi di PP 28/2024
RPMK ini dinilai menimbulkan permasalahan baru, padahal PP 28/2024 sendiri belum rampung sehingga menimbulkan kontroversi.
Dalam PP tersebut, Sudarato tidak menyetujui aturan zonasi yang melarang penjualan produk meteran dalam jarak 200 meter dari pusat pendidikan dan taman bermain.
Ketentuan ini berdampak buruk terhadap penjualan produk rokok dan menghambat pertumbuhan industri.
Sudarato menilai aturan ini akan menghambat kelangsungan dan pertumbuhan industri tembakau di masa depan.
Menurut Sudaroto, rangkaian aturan tersebut menunjukkan pemerintah mengabaikan dampak ekonomi terhadap pekerja dan industri.
Oleh karena itu, jika kebijakan ini diterapkan maka akan banyak pekerja yang meninggal.
Bahkan, lebih baik lagi, rokok mempunyai peranan yang cukup besar dalam menunjang perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, politik internasional dan tekanan dari luar negeri memperburuk situasi industri tembakau.
“Kita sering mendapat tekanan dari politik internasional yang tidak mempertimbangkan kepentingan lokal,” jelas Sudarto.
“Pemerintah Indonesia terpaksa mengambil kebijakan luar negeri yang dapat merugikan industri dan pekerja,” tambahnya.
Pekerja terkena dampak kenaikan cukai
Sudarato juga memaparkan kepentingan industri farmasi yang mempengaruhi kebijakan cukai rokok.
Selama sembilan tahun terakhir, kenaikan cukai telah berdampak pada lebih dari 67.000 pegawai yang tergabung dalam FSP-RTMM-SPSI.
“Ini hanya data anggota kami. Jumlah ini tidak termasuk petani tembakau, industri pendukung, dan mata rantai lainnya dalam rantai pasokan ini, yang juga terkena dampaknya. Semua partai ini adalah korban politik yang tidak seimbang, katanya.
FSP-RTMM-SPSI menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap pekerjaan dan sektor terkait dalam semua peraturan baru.
Semua pihak diajak berdialog dan mencari solusi yang tepat bagi pekerja dan industri tanpa mengabaikan pertimbangan kesehatan masyarakat.
“Kami berharap pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya lebih memperhatikan aspek sosial dan ekonomi dari peraturan ini,” tutup Sudarto.