TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Banyak organisasi di Indonesia yang masih kekurangan kemampuan mendeteksi dan merespons serangan siber secara efektif.
Artinya, banyak serangan siber seperti spoofing sistem perusahaan, pemerasan, dan peretasan digital lebih sering terjadi.
Berdasarkan Laporan Keamanan HelpNet, total 279 juta serangan siber akan terjadi pada tahun 2023, dan 34 persen di antaranya masih tidak terdeteksi.
Oleh karena itu, perusahaan sangat membutuhkan tim SOC atau Security Operations Center (SOC) atau disebut juga Security Operations Center untuk menjadi lini pertahanan siber pertama dalam memantau dan mendeteksi berbagai serangan siber.
Namun, salah satu tantangan terbesar bagi banyak organisasi adalah kurangnya keterampilan keamanan siber dan tingginya tingkat pergantian staf SOC dalam perusahaan, serta kompleksitas dalam membangun tim SOC yang matang.
Menanggapi masalah ini, industri TI sudah memiliki solusi terhadap kebutuhan SOC ini.
Cisometric, salah satu pemain dalam layanan ini, tidak hanya berperan sebagai garis pertahanan pertama untuk melindungi sistem informasi, jaringan, dan data suatu organisasi dari berbagai ancaman siber, tetapi juga menyediakan layanan SOC.
Selain itu juga memenuhi standar wajib beberapa peraturan keamanan siber perusahaan seperti ISO27001, ISO27701, PCI-DSS, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hana Abriyansyah, pendiri Cisometric, tidak memungkiri bahwa banyak organisasi saat ini menghadapi keterbatasan sumber daya dan kurangnya keterampilan di bidang tersebut.
Oleh karena itu, dengan pengalaman dan teknologi canggih yang kami miliki, kami berusaha menawarkan solusi terbaik kepada mereka, katanya, dikutip Kamis, 11 Juli 2024.
Untuk mendukung kemampuan mendeteksi dan merespons serangan siber, layanan SOC Cisometric tidak hanya berfokus pada teknologi terdepan, namun juga pada dua elemen terpenting dari SOC itu sendiri, jelasnya.
Itu berarti berinvestasi pada sumber daya manusia dan proses. Karena SOC merupakan suatu proses atau operasi untuk mengidentifikasi dan merespon.
Ia menggunakan teknologi unik dengan lebih dari 100 fitur deteksi keamanan, teknologi kecerdasan buatan (AI), dan pembelajaran mesin canggih untuk meningkatkan kemampuan deteksi dan pencegahan ancaman digital.
Dia juga mencatat bahwa pendekatan operasional Pusat Operasi Keamanan (SOC) berpusat pada integrasi tanpa batas dengan kemampuan berburu ancaman proaktif dan intelijen ancaman tingkat lanjut.
Hal ini memungkinkan tim SOC yang terdiri dari Computer Security Incident Response Team (CSIRT) dan tim forensik yang sangat terspesialisasi untuk melakukan operasi keamanan siber secara efektif.