TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kontroversi usulan penerapan kemasan rokok polos tanpa label dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dan Peraturan PP Nomor menjadi perbincangan hangat banyak pihak. 28 Tahun 2024. Lembaga Rokok. Pembangunan Ekonomi dan Keuangan INDEF.
Lembaga independen ini menilai kedua inisiatif politik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tersebut menimbulkan sejumlah permasalahan dan perbedaan pendapat yang serius.
Kepala Pusat Industri INDEF Andri Satrio Nugroho menilai kedua peraturan tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan dampaknya terhadap dunia usaha dan industri secara keseluruhan.
Ironisnya, PP 28/2024 dan RMPK yang seharusnya fokus mengatur aspek kesehatan, justru berdampak pada perekonomian sebelum masyarakat umum bisa merasakan manfaat kesehatannya.
“Kebijakan yang tampaknya terburu-buru ini justru akan menambah beban sektor tembakau yang tertekan,” katanya kepada media.
Salah satu isu utama adalah penerapan kemasan rokok polos dan tidak bermerek melalui proyek RPMK yang akan segera disetujui Kementerian Kesehatan.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk melakukan standarisasi kemasan produk tembakau, namun menimbulkan kontroversi karena menghilangkan unsur branding atau hak kekayaan intelektual pada produk tersebut.
Peraturan ini belum terkoordinasi dengan baik antara Kementerian Kesehatan dan kementerian terkait lainnya seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Andy mengatakan transparansi Kementerian Kesehatan juga memprihatinkan, apalagi dengan besarnya penolakan masyarakat. Lebih lanjut, dampak kebijakan kemasan polos tanpa branding diperkirakan akan berdampak pada industri tembakau.
Sebab jika harga tembakau naik, maka perusahaan-perusahaan di sektor ini bisa menyikapinya dengan mengurangi volume produksi yang berujung pada PHK.
Padahal ekosistem industri tembakau sendiri mempekerjakan hingga 6 juta orang. “Kebijakan ini dapat memperburuk keadaan di sektor ketenagakerjaan, apalagi dengan penurunan pendapatan nasional yang terus berlanjut,” imbuhnya.
Pada saat yang sama, kebijakan ketat ini juga dapat memperburuk masalah pendapatan negara. Ia mengatakan peraturan yang terlalu ketat dapat mendorong menjamurnya produk tembakau ilegal, yang justru akan mengurangi pendapatan dari penjualan tembakau legal.
“Pemerintah perlu menyadari bahwa peraturan yang dirancang untuk menghentikan produk ilegal justru memperburuk masalah,” katanya.
Andy juga menyoroti potensi dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomian yang lebih luas.
Jika suku bunga tetap tinggi dan PPN meningkat, hal ini dapat semakin memperburuk situasi perekonomian dan menyebabkan peningkatan jumlah rokok ilegal, karena rokok tersebut tidak lagi dapat dibedakan dengan rokok asli, yang jika peraturan mengenai kemasan rokok biasa dan tidak bermerek diterapkan, akan menjadi tidak efektif. distribusi obat.
Ia menekankan bahwa “peningkatan suku bunga dan PPN dapat menyebabkan peningkatan permintaan barang ilegal” dan menekankan bahwa lembaga penegak hukum masih tidak efektif dalam menangani kejahatan terkait narkoba.
Secara keseluruhan, dia berharap pemerintah merevisi RPMK yang memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa label dan PP 28/2024 secara mendalam.
“Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan implementasi tidak hanya fokus pada tujuan kesehatan, tetapi juga dampak ekonomi dan lapangan kerja,” ujarnya.