Impor Pangan RI Bakal Melonjak Gegara Makan Bergizi Gratis, Ini Kata Kepala Bappenas

Wartawan Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz melaporkan

BERITA TRIBUN.

Bahan pangan yang dapat diimpor untuk program MBG antara lain daging dan susu.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, jika menu makanan gratis membutuhkan protein, maka bisa diganti dengan selain susu.

“Susu bisa diganti. Misalnya kalau kita butuh protein, kita bisa mengubahnya dari hewani menjadi nabati,” ujarnya, Rabu (21/8/2024).

Lebih lanjut, jika program MBG ke depan mengandalkan daging, khususnya daging merah, maka akan lebih baik jika pasokan daging ke depan diperuntukkan bagi pertumbuhan anak dan ibu hamil.

Suharso berpendapat, tidak masalah jika masyarakat tidak banyak makan daging.

“Padahal lebih baik kita tidak makan daging dulu. Kita tidak boleh makan rendang dulu. Siapa yang memakannya? Mencegah stunting pada anak usia 0-5 tahun dan ibu hamil.”

Suharso: Jangan terlalu sering makan daging karena bisa menyebabkan kanker. Peternakan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan.

Daging merah juga berbahaya karena dikatakan mengandung karsinogen A2. Kalaupun banyak makan daging, bisa menyebabkan kanker, kata Suharso.

“Selain itu, peternakan jenis ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan,” ujarnya.

Selain itu, Suharso menilai pentingnya mengandalkan kearifan lokal dalam penyajian pangan dalam program MBG agar tidak bergantung pada pangan impor.

Ia kemudian mengaku menerima kunjungan dari Program Pangan Dunia (WFP).

BSG Indonesia menyarankan untuk mengambil inspirasi dari negara-negara yang telah menerapkan berbagai upaya peningkatan gizi anak sekolah.

“Ada koalisi global untuk makanan sekolah di dunia. Ada koalisi global untuk menyediakan makanan untuk anak sekolah. Ini negara-negara maju, Finlandia, Perancis, Brazil termasuk yang terdepan,” kata Suharso.

“Saya baru-baru ini mengunjungi Perancis dan Program Pangan Dunia, yang mengatakan bahwa Indonesia dapat belajar dari apa yang telah dilakukan di seluruh dunia untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah, dan hal ini ‘bukanlah hal baru bagi dunia.’

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Badan Pangan Nasional (Bapanas), Sarwo Edhy, sempat khawatir dengan kemungkinan program pangan bergizi gratis yang diusung Prabowo-Gibra akan mencakup pangan impor.

Bahan pangan yang kemungkinan besar akan diimpor antara lain beras dan susu.

Ia mengatakan, hal ini bisa terjadi jika pasokan pangan Indonesia tidak mencukupi kebutuhan Program Pangan Gratis dan Bergizi.

“Kalau program pangan gratis, kalau produksi dalam negeri tidak mencukupi maka harus impor,” kata Sarvo, Senin (29/7). / 2024). .

Sarvo menilai ada jumlah dan besaran yang perlu diperhitungkan lebih detail saat melakukan impor.

“Belum tahu besarannya, karena masih menghitung berapa yang akan diberikan. Baik itu dari TK, SD, SMP, SMA, atau SD atau SMA saja, tentu disesuaikan dengan kebutuhan. anggaran pemerintah yang tersedia,” ujarnya. Berpotensi menyebabkan impor pangan dalam jumlah besar

Program pangan bergizi gratis dapat menyebabkan impor pangan dalam skala besar dan melemahkan ketahanan pangan Indonesia.

“Ketahanan pangan kita rendah,” kata Direktur Eksekutif Next Policy Grady Nagara pada diskusi panel bertema “Kesalahan Arah Kebijakan Pangan Gratis” yang diselenggarakan Next Policy di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (22/3/2024).

“Bayangkan komposisi makan siang gratis berdasarkan produk seperti nasi, daging, dan susu,” ujarnya.

“Setidaknya dibutuhkan 6,7 juta ton beras, 1,2 juta ton daging ayam, 500 ribu ton daging sapi, dan 4 juta ton kiloliter susu setiap tahunnya untuk menyasar 82,9 juta penerima manfaat,” kata Gradi.

Menurut dia, jika kebijakan tersebut tidak memperhitungkan dimensi diversifikasi pangan, maka impor dalam skala besar bisa saja terjadi.

Ia mencontohkan Brasil yang mewajibkan 30 persen anggaran pangan gratisnya berasal dari petani lokal.

“Kami rasa hal ini tidak akan terjadi,” kata Gradi. “Yang terjadi adalah potensi impor dalam skala besar akan membunuh para petani kita yang tidak memiliki lahan sendiri.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *