Ikatan Alumni UII Gelar Nobar Film Alkostar, Mahfud MD Bicarakan Konsep Sukma Hukum

Reporter Tribunnews.com Reza Denny melaporkan

TRIBUNNEWS. 

Acara tersebut dilaksanakan pada Jumat (5/7/2024) di Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) 2019-2024, MD Mahfud dalam sambutannya mengatakan, satu hal yang paling diingatnya dari Artijo adalah semangat hukumnya.

Mahfoud menjelaskan, ruh hukum merupakan makna asali hukum. Gampang kalau undang-undang hanya sebatas pasal-pasal pengendali. 

Namun penegakan hukum yang fokus pada etika dan moral sulit diterapkan saat ini.

“Saya pikir kita perlu meniru semangat keadilan yang dipraktikkan mendiang Artija Alcostar,” kata Mahfoud.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekretaris) IKA UII Ari Yusuf Amir mengatakan, mendiang Artidjo Alcostar merupakan lulusan UII yang menjaga integritas.

“Artijo Alcastor merupakan sosok penting tidak hanya bagi UII, tapi juga bagi dunia penegakan hukum di Indonesia. “Baik guru, pengacara, maupun hakim MA, prestasinya di berbagai profesi tidak pernah pudar,” kata Ari.

Terkait perkara, Artidio menjelaskan, ia berprinsip jika hakim memutuskan hanya berdasarkan undang-undang, maka ia akan berakhir dengan tangan kosong. 

Hukum tanpa rasa keadilan ibarat bejana kosong. 

“Seorang hakim harus mempelajari aspek meta-legal. Artinya nilai-nilai di balik peraturan perundang-undangan. Artidio memegang teguh prinsip itu,” kata pengacara senior itu.

Ari mengatakan, sejak adanya perubahan undang-undang, keteladanan Artidio dalam memberikan hukuman suap yang tegas dan tepat telah menyebar ke banyak hakim yang mungkin berani bertindak seperti Artidio. 

Hal ini terlihat dari tren putusan hakim dalam kasus korupsi. 

“Efek Artidio, begitu media menyebutnya, kemudian menjadi fenomena nasional dalam penegakan hukum.

Benar, pengaruh Artijo ini lahir bukan melalui pernyataan-pernyataannya, melainkan hasil kiprahnya sebagai hakim tinggi, keputusan-keputusan yang keluar dari lubuk hati nuraninya, kecerdasannya, pengetahuannya, dan keadilannya, ujarnya. .

Menurut Ari, Artidio sadar betul bahwa istana adalah wajah peradaban suatu bangsa. 

Penilaian baik dan buruk menunjukkan tinggi rendahnya kualitas peradaban suatu bangsa. 

Karya Artidio menunjukkan bagaimana ia “mengorbankan” seluruh hidupnya demi keadilan. 

“Kemudian dia tetap bekerja diam-diam tanpa selebaran dan spanduk. Brihar menjadi algojo yang menggemparkan masyarakat. Beliau sosok yang mengingatkan masyarakat pada mantan pembela HAM seperti Baharuddin Lopa (mantan Jaksa Agung),” kata Ari.  

Ari meyakini, kejadian yang menimpa Artidio tentu bukan suatu kecelakaan yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang panjang, terjal, dan membahayakan nyawa. 

Bahkan ketika Artidio menjadi pengacara “jalanan” yang membela pekerjaan konstruksi, ia tidak terhambat oleh ancaman pembunuhan. 

“Imannya hanya mengajarkan manusia untuk tidak takut kepada Tuhan,” kata Ari. 

Sebagai mahasiswa Artidio, UII juga berkontribusi besar terhadap perkembangan idealisme Artidio. 

Lanjut Ari di UII, Artidio bercirikan kejujuran, kesederhanaan, konsistensi, dan dedikasi yang dikembangkannya semasa menjadi mahasiswa. 

Artidio menampilkan dirinya sebagai HMI dan OSIS yang penuh dengan pemberontakan mahasiswa ketika dihadapkan pada kebijakan rezim yang tidak berpihak pada kampus dan rakyat.

Faktanya, Artidio tidak berubah sedikit pun saat memutuskan jalan yang tidak mengarah pada karier Mahkamah Agung. 

Konsistensi, kejujuran, kesederhanaan dan ketulusan selalu dijaga. 

Dia tidak pernah dikenal “menggoda” keputusan tentang kariernya. Artijo membuktikan bahwa kekuasaan tidak selalu korup.

Artidio mengusulkan adanya tinjauan umum terhadap seluruh lembaga di sistem peradilan: polisi, jaksa, pengacara, dan hakim. Baginya, yang dilihatnya selama ini perbaikannya masih sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit.

Sebagai bagian dari penyusunan kurikulum aparat penegak hukum di masa depan, Artidio mengatakan kontennya tidak hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan hukum, tetapi juga semangat, nilai-nilai, dan visi keadilan. 

Karena skill atau pengalaman tanpa nilai itu berbahaya. Misalnya, teori keadilan hanya diberikan secara samar-samar. 

Menurut Artidio, produk lulusan hukum kini ibarat nasi setengah matang. Tidak ada nasi, tidak ada nasi. Kalau dimakan sakit perut,” ujarnya.

Ari berharap keberadaan film tersebut bisa menjadi cerminan penegakan hukum. Ini juga merupakan jembatan bersejarah bagi generasi mendatang. 

“Ini adalah perjuangan melawan lupa sejarah dan amnesia. Kami berharap film ini berkontribusi pada lahirnya Artijos baru,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *