Laporan reporter Tribunnews.com, Ilham Ryan Priama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut Sekretaris Jenderal PDIP Histo Kristianto masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai tahun 2020.
Penyidik ICW Tabiko Zabar Pradano mengatakan, penyidik KPK saat itu sedang melacak Hasto.
Namun penyidik kehilangan Hasto di kawasan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
“Hastu sendiri diduga masuk radar KPK sejak kasus ini bermula pada Januari 2020. Saat itu, petugas KPK sedang membuntuti mobil Hasto hingga akhirnya PTI kehilangannya dan rombongan KPK pun panik dan tertangkap oleh pihak berwenang setempat,” Tabaco kata ake., Rabu (25/12/2024).
“Diduga terjadi kebocoran informasi di internal KPK dan keruntuhan pimpinan KPK dalam menjalankan tugasnya,” ujarnya.
Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (24/12/2024) mengumumkan Histo sebagai tersangka kasus korupsi yang sedang mempersiapkan kasus mantan anggota parlemen PDIP Aaron Masiko yang kini dalam bahaya. Hasto juga didakwa menghalangi keadilan.
Berdasarkan hal tersebut, ICW memiliki tiga poin penting terkait hal tersebut.
Pertama, menurut Tibiko, penetapan tersangka harus berhenti pada persoalan suap.
ICW menduga Hasto terlibat dalam kaburnya Aaron Masiko yang kini menjadi DPO.
“Dalam hal ini, tidak ada keraguan bahwa pasal 21 UU Tipikor dapat digunakan oleh penyidik KPK terkait dengan obstruksi keadilan. Karena kami yakin ada banyak alasan untuk kabur dari Aaron Masiko. Pihak-pihak yang berkepentingan,” kata Tabeco.
Oleh karena itu, agar perkaranya jelas dan tuntas, lembaga antirasuah dapat menggunakan alat yang terdapat dalam pasal tersebut untuk mempengaruhi pihak lain, tambahnya.
Selain itu, penunjukan Hasto, menurut ICW, bisa menjadi jalan bagi KPK untuk menangkap Aaron Masiko yang masih buron.
Hal ini menjadi poin yang sangat penting bagi KPK jika berminat membawa permasalahan tersebut ke tingkat penuntutan.
ICW meyakini apa yang disampaikan Aaron Masiko akan memperkuat penuntutan kasus selanjutnya,” kata Tabiko.
Kedua, ICW menilai kasus ini membuka kotak pandora yang melibatkan institusi politik dan hukum KPK.
Penetapan tersangka yang terlibat dalam pengungkapan kasus Alternatif Sementara (PAW) DPRRI dapat menjadi pintu masuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelesaikan kasus lainnya.
Sebab hingga saat ini, menurut Tabiku, masih terdapat stigmatisasi dan kecurigaan masyarakat terhadap isu korupsi yang menghambat politisi berkuasa.
“Saat ini banyak persoalan korupsi yang perlu diselesaikan secara politik. katanya.
Ketiga, ICW mewanti-wanti KPK agar mengambil tindakan atas persoalan tersebut, terutama jika mereka dituntut.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata Tabiko, masyarakat telah menyaksikan jatuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika kalah dalam kasus awal terhadap tersangka korupsi.
Ia mengatakan, kasus tersebut tidak boleh dihentikan begitu saja dengan keputusan terdakwa dan akan terulang kembali. Selain itu, kasus tersebut juga melibatkan Sekjen partai yang pernah berkuasa di masa lalu, ujarnya.
Oleh karena itu, ICW meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan proses penanganan perkara tersebut sesuai ketentuan dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.
Selain tiga poin tersebut, ICW juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera meninjau kembali fungsinya sebagai lembaga agar penyidik tidak mengulangi kejadian yang sama.
Hal ini dapat memperlambat kasus korupsi dan menyia-nyiakan bukti yang memberatkan tersangka penjahat.
KPK juga harus bertekad menangkap semua yang diduga terlibat dalam kasus ini,” kata Tabiko.