TRIBUNNEWS.COM – Pada Senin (29/4/2024), kelompok perlawanan Islam Hizbullah mengumumkan operasi besar-besaran di Lebanon.
Pertama, Hizbullah mengaku menyerang pangkalan militer pendudukan Israel di Khirbet Maar, serta posisi artileri, tempat berkumpul dan kendaraan di dekatnya, Al Mayadeen melaporkan.
Hizbullah juga menyerang tempat berkumpul Israel di sekitar situs Ruwaisat al-Alam di Pegunungan Kfar Chuba yang diduduki dengan artileri.
Mereka juga menembaki bangunan tempat tentara Israel ditempatkan di pemukiman Israel di Metula.
Media Israel melaporkan bahwa tiga rudal anti-tank ditembakkan ke Metula.
Dewan Tinggi Al-Jalil mengumumkan penutupan jalan dari persimpangan Tel Hai ke Metula menyusul peluncuran roket dari Lebanon.
“Api tidak berhenti di utara,” kata pernyataan itu.
Setidaknya 40 roket dan beberapa rudal anti-tank ditembakkan dari Lebanon ke wilayah pendudukan Palestina.
Hizbullah menekankan bahwa operasinya adalah respons terhadap serangan penjajah Israel terhadap desa-desa di Lebanon selatan.
Menurutnya, Israel juga menyerang rumah warga sipil di sepanjang perbatasan Lebanon-Palestina.
Lebih parahnya, pada Minggu (28 April 2024), sebuah roket yang ditembakkan dari Lebanon selatan terekam menghantam Meron, kawasan pertanian di Israel utara.
Menurut Al Jazeera, Hizbullah mengaku bertanggung jawab atas roket tersebut.
Beberapa roket rupanya berhasil menembus sistem pertahanan udara Iron Dome Israel.
Pada Sabtu dini hari (27 April 2024) waktu setempat, Hizbullah mengumumkan meninggalnya salah satu anggotanya.
Korbannya adalah seorang petinggi Hizbullah yang tewas dalam serangan Israel menjelang tengah malam waktu setempat pada Jumat (26 April 2024).
“Perlawanan Islam menghidupkan kembali martir, Mujahidin Rafi Fayez Hassan “Nasser Ali,” yang lahir pada tahun 1974 di kota Hiam di Lebanon selatan dan menjadi martir dalam perjalanan ke Yerusalem,” kata Hizbullah dalam sebuah pernyataan.
Berdasarkan laporan tersebut, jumlah kematian anggotanya diperkirakan bertambah menjadi 286 orang sejak 8 Oktober.
Menurutnya, dukungan Hizbullah terhadap Jalur Gaza telah menghambat rencana Israel saat ini dan masa depan untuk melakukan perang pendudukan di Palestina dan Lebanon.
Dalam kasus lain yang dikutip oleh Anadolu Agency, 30 tentara cadangan dari Brigade Parasut Pasukan Pendudukan Israel (IOF) melakukan desersi.
Mereka disebut-sebut menolak perintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mempersiapkan invasi darat ke kota Rafah yang berbatasan dengan Mesir.
Penolakan ini dengan suara bulat diungkapkan oleh puluhan tentara dari kompi penerjun payung cadangan yang merupakan pasukan terjun payung penuh waktu.
Mereka mengaku penolakan ini terpaksa karena puluhan pasukan sudah muak dengan pertempuran yang tak ada habisnya.
“Tentara merasa tidak mampu melanjutkan pertempuran di Gaza setelah hampir tujuh bulan pertempuran,” lapor stasiun media lokal Channel 12.
Menurut laporan tersebut, kelelahan adalah alasan utama tentara menolak perintah.
(Tribunnews.com, Andari Vulan Nugrahani)