TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rektor Universitas Jenderal Ahmad Jani Hikmahanto Juwana menilai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak bisa berkembang jika keputusan negara dikriminalisasi.
Menurut Hikmahanto, para pimpinan perusahaan, khususnya di BUMN, takut akan tanggung jawab pidana jika keputusan bisnisnya merugi.
Jadi dia (Direktur BUMN) asal-asalan saja, tidak mau ambil risiko. Para pemimpin ini adalah penghindar risiko, bukan pengambil risiko. Menghindari risiko. “Hal ini akan menyulitkan BUMN untuk mencetak dividen dalam jumlah besar dan melakukan berbagai inovasi dan ekspansi yang diperlukan,” kata Hikmahanto, Rabu (22/5/2024).
Namun, Guru Besar Universitas Indonesia itu mengatakan, jika kepala sekolah terbukti “tak henti-hentinya” melakukan penipuan, maka tindakan lebih tegas tetap harus diambil.
Menurutnya, kerugian merupakan bagian dari risiko dalam berbisnis.
BUMN tidak bisa berkembang jika keputusannya dikriminalisasi karena direksi akan dituntut karena takut dituntut pidana, kata Hikmahanto.
“Sutradara itu bukan pesulap, dia mengambil keputusan (setelah) mengetahui berbagai simulasi sudah dilakukan bahkan ada ahli yang terlibat, tapi tiba-tiba ada perang, atau tiba-tiba nilai rupee naik atau misalnya ada Covid. Dia tidak bisa memprediksi,” kata Hikmahanto.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Ferri Wibisono mengamini kerugian perusahaan bukan menjadi tanggung jawab direksi.
Ferry mengatakan, kerugian perseroan bukan menjadi tanggung jawab direksi atau pejabat sepanjang kerugian tersebut diambil berdasarkan keputusan sesuai kebijaksanaannya.
“Keputusan itu diambil tanpa ada benturan kepentingan dan diambil dalam lingkup kewenangan yang benar-benar demi kepentingan terbaik perusahaan. Jadi kalau ada kerugian dan usahanya tunduk pada aturan penilaian, itu kerugian usaha. . Tidak ada risiko hukum bagi mereka yang terlibat,” kata Ferry.
Ekonom senior Faisal Basri mengatakan keputusan bisnis di BUMN merupakan akibat buruknya penegakan hukum di Indonesia.
Padahal, kata Faisal, negara berkembang atau sudah maju mempunyai rekam jejak kelembagaan yang baik. “Dengan demikian, tidak mungkin Indonesia memiliki perekonomian yang baik jika institusinya buruk,” ujarnya.
Faisal mengatakan, insiden dengan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan dapat menimbulkan risiko kewirausahaan di kalangan eksekutif.
“Selain Bu Karen, yang penting sekarang direksi Pertamina tidak mau ambil risiko, mereka takut dengan apa yang menimpa Bu Karen. Ini kenyataannya. “Lihat, sekarang pengangkut minyak itu hanya 606.000 barel per hari,” ujarnya.
Martino Hadianto, Direktur Utama Pertamina periode 1998-2000, mengatakan permasalahan “business case law” ada pada praktik pengambilan keputusan direksi.
Penilaian bisnis adalah prinsip yang melindungi otoritas pengambilan keputusan manajer perusahaan.
Berdasarkan prinsip ini, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusan yang salah atau penyebab kerugian perseroan.
Ingatlah bahwa tidak ada konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan ini, tidak ada pengaruh itikad buruk, dan tidak ada kerugian karena kelalaian.
Kasus bisnis ini kembali mendapat sorotan setelah ditunjuknya Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014, Karen Agustiawa, atas tuduhan korupsi.
Karen Agustiawan Dugaan Korupsi Pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG).
Karen didakwa melakukan perjanjian kemitraan pengadaan gas secara sepihak dengan perusahaan asing yang merugikan Rp 2,1 triliun.