Hampir 10 Juta Gen Z Pengangguran dan Banyak Pabrik Tutup Bikin 2.650 Pekerja di PHK

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia menghadapi bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030-an.

Namun sebelum mencapai puncaknya, terdapat berbagai permasalahan yaitu pengangguran di bagian produksi.

Masa dimana penduduk usia produktif (15-64 tahun) melebihi 60% dari jumlah penduduk di atas usia non-produktif (65 tahun ke atas) disebut bonus demografi. Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 10 juta atau 9,9 juta anak berusia 15-25 tahun tidak mengenyam pendidikan, pekerjaan atau pelatihan atau menganggur. Data survei diperoleh pada periode 2021-2022.

Dari jumlah tersebut, pengangguran terbanyak terjadi pada perempuan muda, yakni sebanyak 5,73 juta orang. 4,17 juta sisanya adalah kaum muda.

Rentang usia 15-25 tahun menunjukkan bahwa penduduknya merupakan generasi Z. Gen Z lahir antara tahun 1997-2012. Ancaman bonus populasi

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menilai fenomena pengangguran yang meluas di kalangan Generasi Z merupakan ancaman serius terhadap bonus demografi Indonesia Emas 2045.

Kurniasih mengatakan, jika bonus demografi tidak dibarengi dengan peluang kerja yang besar bagi generasi muda, maka akan menimbulkan bom waktu.

Dia mengatakan, angka 10 juta pengangguran di Generasi Z sebaiknya dijadikan bahan perkiraan pemerintah.

Angka 10 juta pengangguran generasi Z menunjukkan bonus demografi kita tidak dikelola dengan baik, kata Kurniasih saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (23/5/2024).

Dengan adanya bonus demografi, pihaknya terus menekankan pentingnya pelatihan keterampilan di hulu dan kesempatan kerja yang lebih luas di hilir.

Saat ini, ketika pendidikan tinggi menjadi lebih mahal dengan meningkatnya UKT, generasi Z berada dalam tekanan yang semakin besar.

“Saat ini peluang kerja membutuhkan pengalaman dan ada batasan usia,” jelas Kurniasih.

Generasi muda saat ini tidak bisa dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Khususnya pendidikan dan pekerjaan harus dipertimbangkan secara terpisah dari perspektif dunia. Ada kebutuhan untuk memfasilitasi penyediaan tenaga profesional yang dibutuhkan saat ini ke lembaga pendidikan.

“Juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pemberi kerja,” ujarnya.

Kurniasih mencatat, pekerja informal mendominasi tren ketenagakerjaan saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa angkatan kerja yang mencari pekerjaan semakin meningkat, namun lapangan kerja di sektor formal masih terbatas.

Faktanya, pencari kerja di toko kelontong biasanya selalu mengantri untuk mendapatkan pekerjaan di pabrik.

“Hal ini disebabkan karena banyak anak yang bekerja tidak mempunyai kesempatan kerja formal, sehingga lowongan kerja diisi di sektor informal. Namun perlindungan terhadap pekerja di sektor informal sangat lemah,” kata Kurniacich. Ribuan pekerja di-PHK

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenekar) menyebutkan sepanjang Januari hingga Maret 2024, sekitar 2.650 pekerja di Negara Bagian Jawa Barat (Jabar) terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK).

Rinciannya, pekerja yang terkena PHK pada Januari sebanyak 306 orang, Februari 654 pekerja, dan Maret 2024 sebanyak 1.690 pekerja.

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan maraknya PHK pada industri tekstil dan garmen di Jawa Barat seiring dengan keputusan pengusaha menutup pabriknya.

“Penyebab maraknya PHK di Jabar dalam tiga bulan terakhir, terutama di industri padat karya seperti tekstil dan pakaian jadi, terutama karena banyak pabrik yang tutup,” kata Anwar kepada situs Kompas com. , beberapa waktu lalu.

Berdasarkan informasi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan pemerintah daerah, penutupan pabrik di Jabar disebabkan tingginya biaya tenaga kerja dibandingkan daerah lain.

Hal ini akan memaksa pengusaha untuk berpikir ekonomis dan memindahkan usahanya ke daerah lain, katanya.

Pabrik ditutup karena beberapa alasan ekonomi, antara lain tingginya upah buruh di Jawa Barat dibandingkan provinsi lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga memaksa sebagian pengusaha beroperasi di bawah upah minimum regional (UMP). , katanya.

Anwar mengatakan perlunya peningkatan komunikasi antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencari solusi bersama guna mengurangi PHK.

Selain itu, pihaknya menilai perlunya perluasan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan memberikan bantuan tunai akibat PHK, serta akses terhadap pelatihan gratis dan bersertifikat untuk keterampilan dan keahlian. “Dan membantu masyarakat mendapatkan pekerjaan dengan mencocokkan pekerjaan untuk membantu mereka kembali ke pasar tenaga kerja,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *