TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hakim Agung Ghazalba Saleh yang sudah meninggal dunia disebut belum sepenuhnya melaporkan harta kekayaannya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Hal itu diungkapkan saksi pemeriksa LHKPN Deni Setianto dari Direktorat LHKPN KPK pada sidang lanjutan kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Ghazalba Saleh yang ditangkap sebagai terdakwa.
Dalam persidangan, Jaksa KPK Alfred menyelidiki beberapa properti milik Ghazalba, termasuk sebuah mobil.
Namun saksi Deni mengungkapkan Gazalba tidak pernah melaporkan Alfred.
Dari segi mobil, Ghajalba mengaku hanya melaporkan Toyota Avanza, Honda City, dan Toyota Fortuner.
Tadi kita cek laporannya tahun 2010, 2016, 2017 sampai 2020, mobil yang terlapor adalah Toyota Avanza. Kemudian Honda City dilepas dan terakhir LHKPN melaporkan Toyota Fortuner atas nama Pak Ghazalba Saleh, kata saksi. Ditolak dalam persidangan pada Senin (12/8/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
“Tidak, Alfred?” tanya jaksa.
“Tidak ada,” jawab Deni.
Jaksa kemudian menggali aset tanah dan konstruksi yang diduga tidak dilaporkan Ghazalba Saleh ke LHKPN. Di antaranya, aset tanah dan konstruksi di Tanjung Barat.
“Jadi kepemilikan aset tahun 2020 ada di Tanjung Barat?” tanya jaksa.
“Kami tidak menemukan adanya kepemilikan tanah dan bangunan di Tanjung Barat pada tahun 2020 karena jika dimiliki pada tahun 2020 maka laporannya akan masuk dalam jurnal tahun 2020 atau 2021,” kata Deni.
Aset tanah dan konstruksi lainnya yang belum dilaporkan antara lain vila di Bogor dan rumah di Citra Grand.
Meski tanah dan bangunan tersebut terungkap dalam penyelidikan sebelumnya, Ghazalba Saleh membelinya.
“Villa di Cariu Bogor dibeli Juni 2021?” kata jaksa.
“Akuisisi Juni 2021 harusnya masuk periode 2021 dan kami tidak akan mencatat kepemilikan properti di kawasan Bogor,” kata Deni.
“Jadi untuk Citra Grandnya?”
“Tidak ada properti Citra Grand yang tercantum dalam data kami.”
Belakangan, jaksa juga memeriksa rumah di Kelapa Gading, Kota Sedayu dengan saksi Deni.
Neger mengungkapkan, rumah tersebut tidak pernah ada di LHKPN Ghazalba Saleh.
“Jadi rumah di kota Sedayu, Kelapa Goding itu diakuisisi pada Agustus 2019?”
“Tidak ada pada tahun 2021. Tidak ada pada tahun 2020 untuk beberapa Goding, tidak ada catatan pada tahun 2019.” Plt Hakim Agung Ghazalba Saleh dalam sidang lanjutan perkara gratifikasi dan pencucian uang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (12/8/2024) (Tribunnews.com/ Ashri Fadilla).
Dalam sidang yang sama, Gazalba Saleh mendalilkan LHKPN belum lengkap karena dianggap terlalu berbelit-belit.
“Menurut saya, pengisian LHKPN itu rumit karena saya tidak memiliki pengetahuan dasar tentang statistik dan sejenisnya,” kata Ghajalba saat diberikan kesempatan oleh majelis hakim untuk berbicara dalam sidang.
Dalam kasus ini, Ghazalba Saleh diduga menerima gratifikasi sebesar S$18.000 dari penggugat Jawahirul Fuad.
Jawahirul Fuad sendiri diketahui pernah menggunakan jasa bantuan hukum Ahmad Riyad sebagai pengacara.
Selanjutnya, Ghazalba Saleh diduga menerima SGD 1.128.000, USD 181.100, dan Rp 9.429.600.000 untuk menangani perkara lain di Mahkamah Agung.
Total nilai tip dan TPPU yang diterima Gazalba Saleh adalah sebesar Rp25.914.133.305 (lebih dari dua puluh lima miliar).
“Terdakwa yang merupakan Ketua Mahkamah Agung RI periode 2020 hingga 2022 ini menerima tip senilai S$18.000 pada dakwaan pertama, serta S$1.128.000, S$181.100 dollar AS, dan Rp9.4209.600,” jelasnya. kata Jaksa KPK dalam dakwaannya.
Akibat perbuatannya, ia dijerat Pasal 12b jo Pasal 18 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Belakangan, hakim MA itu diduga menyembunyikan hasil tindak pidana korupsi yang juga dijeratnya dengan tindak pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam dakwaan TPPU, Ghazalba Saleh dijerat Pasal 55 Ayat 1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP serta Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.