Haji 2024: Arab Saudi Bersiap Hadapi Panas Ekstrem

Ibadah haji tahun ini, yang dimulai pada tanggal 14 Juni, merupakan ibadah sekali seumur hidup bagi sekitar 2 juta umat Islam dari 180 negara, dan juga penuh tantangan fisik karena suhu yang lebih tinggi dari rata-rata.

“Prakiraan cuaca untuk ibadah haji tahun ini memperkirakan suhu rata-rata di Mekkah dan Madinah naik 1,5 hingga 2 derajat Celcius di atas normal,” kata Ayman Ghulam, kepala Departemen Meteorologi Nasional Arab Saudi, pekan lalu.

Di Mekah, pusat ibadah haji lima hari, kenaikan suhu diperkirakan akan membawa suhu rata-rata sekitar 44 derajat Celcius.

Untuk mengurangi panas yang diperkirakan terjadi, seluruh alun-alun utama di Mekah dan Madinah dilengkapi dengan sistem kabut dan stasiun air portabel.

Selain itu, pemerintah Saudi berjanji akan mengganti lantai Masjidil Haram di Mekkah dan tenda-tenda di sekitarnya yang ber-AC. Banyak kebaktian diadakan di luar ruangan.

Namun, ibadah haji tidak bisa hanya dilakukan di lingkungan ber-AC. Jamaah haji harus menunaikan ibadah haji selama total 30 jam, termasuk berdiri di Dataran Tinggi Arafat antara matahari terbit dan terbenam pada satu hari, dan berjalan melalui Makkah selama beberapa jam pada hari lainnya.

Platform resmi negara yang memuat informasi ibadah haji menyoroti bahwa kelelahan akibat cuaca panas merupakan salah satu risiko terbesar ibadah haji.

Misalnya, pada tahun 2023, suhu panas akan meningkat hingga 48 derajat dan sekitar 8.400 jamaah akan menderita tekanan panas, Saudi Gazette melaporkan pada saat itu. Pitam panas kelelahan Jumlah kasus sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi karena klinik tersebut tidak merawat semua warga Paris yang menderita pusing atau dehidrasi.

Selain itu, penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Travel Medicine menemukan bahwa jamaah haji dari negara-negara yang suhunya sangat panas memiliki kemungkinan 4,5 kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan penduduk setempat yang suhu tubuhnya tinggi. Perubahan dalam kebijakan iklim diperlukan.

Sebuah studi baru-baru ini dari Universitas Sains dan Teknologi King Abdullah di Arab Saudi menemukan bahwa suhu telah meningkat rata-rata 0,4 derajat per dekade selama 40 tahun terakhir.

“Dalam skenario terburuk, suhu di Semenanjung Arab bisa meningkat sebanyak 5,6 derajat Celcius pada akhir abad ini,” tulis para peneliti.

Tobias Zumbrägel, peneliti di Departemen Geografi Manusia Universitas Heidelberg, mengatakan hal serupa kepada DW.

“Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa sebagian Semenanjung Arab tidak akan bisa dihuni pada akhir abad ini,” katanya.

Solusi jangka pendek, seperti sistem kabut di Arab Saudi yang membuat jamaah lebih toleran terhadap panas, menekankan bahwa negara tersebut sudah menderita dampak perubahan iklim.

“Perubahan iklim di Arab Saudi terwujud dalam gelombang panas yang lebih besar dan gelombang panas yang bersifat sementara, namun memiliki konsekuensi yang lebih luas,” jelas Zumbrägel.

“Kami memperkirakan akan terjadi badai pasir dan angin, naiknya permukaan air laut, dan berkurangnya air di daerah yang sangat kering,” tambahnya.

Sebagai bagian dari program restrukturisasi ekonomi dan sosial yang disebut Visi 2030, Arab Saudi berfokus pada perluasan energi terbarukan untuk melakukan diversifikasi dari penjualan minyak dan gas. Namun para peneliti memperingatkan bahwa hal ini mungkin tidak cukup, dan beberapa bahkan mungkin kontroversial.

Di sisi lain, Arab Saudi jelas berkomitmen terhadap transisi energi ramah lingkungan. Namun di sisi lain, negara ini tetap menjadi eksportir minyak utama dunia.

“Penggunaan teknologi ramah iklim seperti hidrogen menciptakan masalah tambahan karena panel surya besar yang sedang dibangun perlu dicuci secara teratur dengan air bersih,” kata Zumbrägel.

Contoh lainnya adalah proyek Taman Raja Salman di Riyadh, yang diiklankan sebagai taman hiburan terbesar di dunia dengan ruang hijau yang mewah.

“Proyek lingkungan hidup yang besar seperti ini memperburuk masalah air,” Zumbrägel menjelaskan: “Perbedaan ini menunjukkan bahwa perubahan iklim ditanggapi dengan serius, namun adaptasi hanya dilakukan di beberapa sektor dan hanya mendapat sedikit perhatian dari sektor lain.” Kerja sama regional diperlukan.

Zumbrägel berpendapat bahwa kebijakan yang berfokus pada kerja sama dan penelitian internasional akan lebih cocok untuk melindungi masyarakat dan jamaah haji dari perubahan iklim yang sedang berlangsung.

Sementara itu, “Pertanyaan Penting: Iklim dan Konflik – Mengapa Ini Penting?” Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Hak Asasi Manusia Andrew Gilmour, yang juga penulis, memberikan kesaksian. Penulis dan direktur eksekutif Berghof Foundation di Jerman untuk mengambil langkah lebih lanjut.

Ia percaya bahwa kerja sama lintas batas adalah kunci mitigasi perubahan iklim di Timur Tengah. Menurut Yale Climate Connections, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada perubahan iklim, suhu di wilayah ini dua kali lebih panas dibandingkan wilayah lain di dunia.

“Arab Saudi sangat beruntung memiliki begitu banyak kekayaan sehingga mampu mendiversifikasi perekonomiannya,” kata Gilmour kepada DW.

“Tapi Arab Saudi UEA Irak dan Libya, produsen minyak kaya seperti Qatar atau Bahrain, lebih miskin dan tidak punya cara untuk berinvestasi. Di departemen lain,” imbuhnya. (gtp/)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *