TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi meminta masyarakat tetap waspada dan menyerahkan penyidikan kasus Vina Cirebon ke polisi.
Hal itu diungkapkan R Haidar Alwi sebagai respons atas tersebarnya pemberitaan yang mencemarkan nama baik Polri sebagai otoritas dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sendiri.
Kasus yang santer diberitakan, kasus Vina Cirebon tahun 2016 disamakan dengan kasus Sum Kuning Yogyakarta tahun 1970.
“Penyidikan Sum Kuning tidak mendapat dukungan dari Presiden Soeharto. Berbeda dengan kasus Vina Cirebon yang penyidikannya didukung penuh oleh Presiden Jokowi,” kata R Haidar Alwi, Senin (3/5/2024).
Selain itu, pemberitaan yang tersebar juga menunjukkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak mau turun tangan dan mengabaikan kasus Vina Cirebon.
R Haidar Alwi mengingatkan masyarakat, peristiwa Vina Cirebon tidak terjadi pada masa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Oleh karena itu, penyerangan terhadap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dinilai sebuah kesalahan.
Padahal, masyarakat patut berterima kasih kepada Polri, karena pada masa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, kasus Vina Cirebon yang sebelumnya belum terselesaikan kini kembali dibuka. DPO dipastikan sudah bergerak selama 8 tahun tanpa mempertimbangkan pembelaan tersangka,” kata R Haidar Alwi.
Bahkan, cerita yang beredar pun membandingkan sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan Kapolri Jenderal Hoegeng. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo disebut tak berani mengusut kasus Vina Cirebon. Dalam situasi saat ini, Kapolri Jenderal Hoegeng terlihat ingin mempertaruhkan posisinya dalam pengusutan peristiwa Sum Kuning.
R Haidar Alwi menegaskan, Jenderal Hoegeng kehilangan jabatan bukan hanya karena kasus Sum Kuning, tapi karena perselisihan antara Hoegeng dan Soeharto sebelum Hoegeng menjadi Kapolri dan Soeharto menjadi presiden.
Menurut R Haidar Alwi, ada konflik antara prinsip kejujuran dan integritas Hoegeng dan Soeharto dalam kasus pengangkutan tekstil yang melibatkan Nyonya Tien dan kasus mobil mewah yang melibatkan Robby Tjahjadi.
Benturan prinsip ini berujung pada perbedaan pendapat yang berdampak pada penanganan perkara Sum Kuning yang dilimpahkan ke lembaga lain.
Pada akhirnya, Kapolri Jenderal Hoegeng kehilangan jabatannya, perselisihan terus berlanjut setelah Jenderal Hoegeng berhenti menjadi Kapolri.
Oleh karena itu, Kapolri Jenderal Hoegeng bukan kehilangan jabatan dalam kasus Sum Kuning, melainkan karena tidak sependapat dengan Presiden Soeharto. Dalam kasus Cirebon Vina, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Jokowi sangat dirugikan. rukun dan sangat rukun. Tidak ada masalah. Keduanya punya komitmen untuk menerapkan undang-undang yang sama,” kata R Haidar Alwi.
Dalam kasus ini, polisi mengungkap nama tersangka baru yakni Pegi Setiawan (30) alias Perong.
Perong dinyatakan sebagai satu-satunya pengungsi yang masuk dalam daftar orang yang dicari (DPO).
Tim penyidik Polda Jabar dibantu Polres Cirebon melakukan rekonstruksi kasus pembunuhan Vina Cirebon dan Eki di tempat berbeda, Rabu (29/5/2024).
Keluarga Pegi Setiawan kecewa dengan keputusan yang diambil penyidik karena dilakukan tanpa pemberitahuan.
Keluarga Pegi yang datang ke tempat kejadian perkara (TKP) mengaku tidak diberitahu mengenai proses rekonstruksi tersebut.
Mereka pun mengeluhkan Pegi yang tidak diturunkan dengan baik di dalam mobil.