TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengungkapkan kecerdasan buatan akan merambah ke berbagai sektor kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan.
Nadiem menilai penggunaan kecerdasan buatan tidak bisa dihindari.
Menurut Nadie, tidak ada pilihan lain selain mempersiapkan konfrontasi dengan kecerdasan buatan melalui kecerdasan karakter.
Saat ini kecerdasan buatan sudah bisa diterapkan pada proses bimbingan belajar.
Sementara itu, CEO Edufio Yulia Astuti menekankan pentingnya fleksibilitas dalam dunia pendidikan di tengah gencarnya teknologi kecerdasan buatan.
Ia mencontohkan penggunaan AI untuk penilaian yang dapat menghasilkan penilaian secara detail mengenai kelebihan dan kekurangan siswa.
“Melalui penilaian AI, guru dapat lebih memahami apa yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan potensi siswa,” kata Yulia dalam keterangan tertulis, Kamis (1/8/2024).
Yulia mengatakan, kelompoknya memanfaatkan AI untuk mencocokkan karakteristik gaya belajar tutor dan gaya belajar siswa.
Berkat harmonisasi tersebut, proses kegiatan belajar mengajar (KBM) dapat berlangsung maksimal sesuai rencana.
Selain itu, metode personalisasi pembelajaran mampu mengaktifkan bakat siswa secara maksimal.
“Dalil yang dekat dengan permasalahan ini adalah kesadaran bahwa setiap siswa mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. “Ada masyarakat yang lebih mudah memahami materi melalui video, ada pula yang lebih memilih praktik langsung,” kata Yulia.
Metode pendidikan “satu kali” cenderung membahayakan dan mematikan bakat khusus anak.
Konsep pembelajaran yang dipersonalisasi diciptakan oleh John Dewey, seorang filsuf pendidikan, yang pada abad ke-18 mempromosikan landasan ilmiah di bidang psikologi pendidikan.
Dewey menyimpulkan bahwa pembelajaran harus aktif, berdasarkan pengalaman, dan berpusat pada siswa.
Pembelajaran yang dipersonalisasi melibatkan pembelajaran yang materi dan strategi pembelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa.