Reporter Tribunnews.com Dennis Destryavan melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Profesor Universitas Airlanga (Unair) Henry Subiakto menilai perusahaan layanan internet satelit milik Elon Musk, Starlink, dapat merugikan bisnis para pelaku telekomunikasi lokal di Indonesia, seperti internet atau penyedia layanan internet. Penyedia Layanan (ISP).
“Saya tidak setuju Starlink bisa beroperasi di Indonesia,” ujarnya kepada akun platform X Henry @henrysubiakto, Selasa (21/5/2024).
Dia mengatakan Telkom, Indosat, perusahaan ISP dan lainnya bisa bangkrut jika pemerintah mengizinkan Starlink beroperasi di sini.
Selain itu, Starlink dapat digunakan oleh kelompok kriminal bersenjata.
Negara dan pemerintah Indonesia atas komunikasi yang tidak terdeteksi. Starlink berpotensi mengganggu NKRI, kata Menkominfo.
Henri menjelaskan Starlink terutama digunakan oleh negara-negara yang mendukung Amerika Serikat (AS). Pasalnya, Starlink sangat berbeda dengan satelit konvensional seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1, dan satelit non-Starlink Eropa dan Amerika lainnya.
“Starlink adalah satelit ‘Low Earth Orbit’ (LEO) yang beroperasi antara 340 dan 1.200 km di atas permukaan bumi. Ribuan Starlink kecil dirancang untuk bekerja sama untuk menyediakan layanan yang ‘seperti BTS Internet yang terbang’, ” jelasnya.
Sedangkan satelit komunikasi konvensional ditempatkan pada orbit geostasioner (GEO), suatu titik yang relatif tetap di permukaan bumi, 35.786 kilometer di atas garis khatulistiwa bumi.
“Setiap satelit Starlink memiliki berat sekitar 260 kilogram. Satelit GEO berukuran lebih besar dan mahal karena teknologi dan peralatannya lebih presisi serta harus mampu bertahan di orbit yang lebih tinggi,” ujarnya.
Starlink, satelit LEO, menggunakan teknologi array bertahap di antenanya, yang memungkinkannya mengarahkan sinyal tanpa menggerakkan satelit itu sendiri, kata Henry. Sistem ini dirancang untuk latensi rendah dan kecepatan tinggi.
“Receiver satelit hanya menggunakan antena kecil dan perangkat seukuran laptop portabel besar,” kata Henri.
Sementara itu, satelit GEO harus menggunakan antena tetap berukuran besar untuk komunikasi berdaya tinggi. Henri mengatakan satelit konvensional membutuhkan mitra untuk menghadirkan layanannya kepada masyarakat. Pada saat yang sama, operator seluler dan ISP adalah mitra. Berbeda dengan Starlink yang tidak memerlukan mitra.
“Mereka bisa melayani masyarakat secara langsung tanpa pihak ketiga, sehingga masuknya Starlink bisa menjadi awal matinya perusahaan dalam negeri di sektor Internet, seluler, dan satelit,” tambah Henri.
Sebelumnya Starlink telah diluncurkan di Indonesia dimana pengguna rumahan bisa berlangganan. Kabar Starlink hadir di Indonesia sudah beredar sejak tahun lalu.
Namun penggunaannya saat itu masih terbatas. Baik pengguna bisnis maupun pribadi kini dapat berlangganan layanan Starlink di Indonesia. Starlink bisa hadir di Indonesia karena perusahaan telah mengajukan beberapa izin beroperasi.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Ari Setiadi memastikan akan menciptakan level playing field antar penyedia layanan Internet, termasuk Starlink, perusahaan layanan Internet satelit milik Elon Musk.
Menurut Budi Arie, Starlink tetap harus mematuhi regulasi Internet Service Provider (ISP) dalam negeri. Termasuk pembayaran biaya Hak Spektrum Frekuensi Radio (BHP).
“Starlink akan kita terapkan, harus dalam kondisi yang adil. Semua pembayaran harus sama, tidak boleh ada preferensi,” kata Budi Ari usai menghadiri acara Mata Lokal Fest di Jakarta Barat (17/5/2024).