TRIBUNNEWS.COM – Kantor Perdana Menteri (PM) Israel melakukan kesalahan pada Jumat (17/5/2024) saat mengumumkan tentang sandera di Jalur Gaza.
Dalam pengumuman tersebut, kantor perdana menteri Israel mengatakan pihaknya akan berkomitmen untuk menyelamatkan sandera yang “mati dan sekarat”.
Faktanya, menurut media Israel, Walla disebut-sebut sebagai “sandera mati dan hidup”.
Pengumuman itu muncul setelah jenazah tiga sandera dievakuasi dari Gaza.
“Kami akan memulangkan semua sandera, baik yang meninggal maupun yang sudah meninggal,” bunyi pesan belasungkawa tersebut.
Walla mengatakan pesan iklan itu dihapus enam menit setelah diunggah. Kantor kemudian mengunggah pesan yang telah diperbaiki.
“Kami akan mengembalikan semua sandera, hidup dan mati.”
Namun, Walla menganggap kesalahan sebelumnya “memalukan”. Sebuah bendera Palestina muncul di pagar kawat berduri selama demonstrasi yang disebut “Pawai Bendera” di sepanjang perbatasan Jalur Gaza dengan Israel, sebelah timur Kota Gaza, pada 18 Mei. (Mohammed Abed/AFP melalui Getty Images)
Sementara itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Jumat sore menemukan lokasi jenazah tiga sandera bernama Shani Lock, Amit Buskila, dan Yitzhak Gelranter.
Ketiganya dibawa ke Gaza pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
“Mayat ketiga sandera ditemukan dalam operasi gabungan IDF dan unit operasional Shin Bet, berdasarkan informasi yang juga terungkap selama penyelidikan terhadap Shin Bet,” kata Daniel Hagari, juru bicara IDF. Fokus pada pembebasan sandera
Seorang diplomat Al Jazair bernama Ahmed Sahraoui mengatakan Israel melakukan pembunuhan tersebut dengan dalih menyelamatkan sandera.
“Sayangnya, di wilayah pendudukan Palestina kita melihat mesin pembunuh biadab pasukan pendudukan Israel menghancurkan Gaza dengan dalih menjamin pembebasan sandera,” kata Sahraoui seperti dikutip Reuters.
Saat ini, lebih dari 35.000 warga Palestina telah dibunuh oleh Israel sejak perang pecah pada Oktober tahun lalu.
Sahraoui menggambarkan masalah pembebasan sandera sebagai “masalah yang sangat penting”. Dia juga mengkritik Israel karena memenjarakan warga Palestina.
Menurut Asosiasi Tahanan Palestina, setidaknya 9.100 warga Palestina saat ini dipenjarakan oleh Israel.
Jumlah tersebut belum termasuk warga Palestina di Gaza yang ditahan sejak 7 Oktober 2023.
Militer Israel mengatakan pihaknya bertindak sesuai dengan hukum internasional dan Israel dalam menangkapnya.
Israel mengatakan para tahanan diberi makanan, air, obat-obatan dan pakaian yang memadai.
Sementara itu, Duta Besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Gilad Erdan, mengatakan 132 warga Israel masih ditahan di Gaza.
“Ini adalah pertemuan pertama badan PBB yang fokus pada penderitaan mereka dan cara-cara untuk membebaskan mereka,” kata Erdan dalam pertemuan tersebut.
“Penyanderaan adalah masalah paling penting dan penting yang perlu menjadi fokus dewan ini,” katanya.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Netanyahu masih bersikeras untuk melenyapkan Hamas dan mengembalikan semua sandera.
Namun, belum banyak kemajuan yang dicapai dalam pembebasan para sandera.
Netanyahu bahkan diminta mundur. Selain itu, AS juga mengancam akan mengurangi dukungannya terhadap Israel yang saat ini sedang menyerang Rafah.
Associated Press melaporkan, kini ada dua pihak di Israel yang memiliki pandangan berbeda terhadap para sandera.
Pihak pertama adalah mereka yang menginginkan pemerintah mengakhiri perang dan membebaskan para sandera.
Bagian kedua adalah mereka tersandera dengan harga yang harus dibayar untuk melenyapkan Hamas.
Perundingan gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang dimediasi Qatar, Amerika Serikat (AS), dan Mesir belum menunjukkan banyak kemajuan.
(Tribunnews/Februari)