Laporan jurnalis Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gabungan Produsen Rokok Indonesia (GAPPRI) mengungkap negara merugi miliaran rupiah akibat rokok ilegal.
Mengutip hasil studi yang dilakukan Lembaga Survei Indodata, Presiden GAPPRI Jenderal Henry Nijuan mengungkapkan, 28,12 persen perokok di Indonesia merokok atau menggunakan rokok ilegal.
Jika dikonversikan menjadi pendapatan negara, Indonesia akan kehilangan potensi pajak sebesar Rp53,18 miliar.
“Ini membuktikan penyebaran rokok ilegal di Indonesia sangat besar,” kata Henry kepada Tribune News, mengutip Kamis (12/9/2024).
Ia mengatakan, angka Rp 53,18 triliun itu berdasarkan perkiraan peredaran rokok ilegal sebanyak 127,53 miliar batang.
Hasil survei tersebut tidak jauh berbeda dengan selisih perhitungan CK-1 dan Susenas, yaitu sebesar 26,38 persen.
Kemudian, merujuk pada catatan lain, Henry mengatakan pembentukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa hanya 2% dari peredaran rokok ilegal dapat menyebabkan kerugian negara hingga Rp 1,75 miliar.
Jika peredaran rokok ilegal mencapai 5%, maka kerugian negara sedikitnya bisa mencapai Rp 4,38 miliar. Menurut dia, situasi tersebut kurang baik bagi iklim usaha industri Hasil Tembakau Legal (IHT) nasional.
Di tengah peredaran rokok ilegal, IHT legal menghadapi beban kenaikan Pajak Hasil Tembakau (CHT) dan berbagai peraturan.
Selama empat tahun berturut-turut, peningkatan angka konsumsi ini disebabkan oleh meningkatnya peredaran rokok ilegal.
Ia menjelaskan, dengan meningkatnya tingkat konsumsi maka selisih harga antara rokok legal dan rokok ilegal akan semakin besar. Perbedaan harga yang besar antara rokok legal dan rokok ilegal dinilai menguntungkan konsumen rokok ilegal.
Pasalnya, perokok ilegal tidak membayar cukai, pajak daerah, PPN yang besarnya 70 hingga 83 persen per batang.
“Dengan meningkatnya tingkat konsumsi, perjudian rokok ilegal semakin marak,” jelas Henry. Menurut dia, tingginya peredaran rokok ilegal sebagian besar disebabkan oleh kebijakan cukai seiring dengan kenaikan harga rokok.
Pada tahun 2019, ketika tidak ada kenaikan cukai, tingkat peredaran rokok ilegal mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. “Pada tahun 2020, ketika cukai dinaikkan, tingkat peredaran rokok ilegal meningkat,” kata Henry.
Perokok dengan pendapatan rendah diperkirakan lebih mungkin membeli rokok ilegal karena kenaikan harga mengimbangi kenaikan harga rokok.
Oleh karena itu, Henry meminta pemerintah tidak menaikkan tarif CHT pada tahun 2025. Dia mengatakan, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10,7% pada IHT akan berulang karena ekspektasi kenaikan tersebut.
Lebih lanjut, dia berharap pemerintah tidak menyederhanakan struktur tarif dan golongan.
Tujuannya adalah menjaga efisiensi IHT guna mendorong peningkatan penerimaan cukai dan pajak. “GAPPRI juga menolak arahan kebijakan cukai yang mendekati disparitas tarif,” kata Henry.
Oleh karena itu, Henry mendorong penindakan terhadap tembakau ilegal terus dilakukan secara konsisten dan terukur.
Saat ini, dampak peningkatan laju konsumsi rokok dinilai terlalu besar. “Pasar rokok kini sudah bebas peredaran rokok ilegal dan strukturnya semakin kuat,” kata Henry.
Ia juga mengharapkan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk meningkatkan tindakan keras terhadap rokok ilegal dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Melalui tindakan luar biasa diharapkan peredaran rokok ilegal dapat ditekan dan dihilangkan.