TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Situasi global yang mencekam membuat nilai tukar rupee masih melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Jika situasi global terus memburuk, hal ini dapat berdampak pada perekonomian Indonesia.
Menyikapi situasi tersebut, Pimpinan Pusat (PP) Ksatria Muda Republik Indonesia (KMR) mengadakan pertemuan focus group Discussion bertema “Dampak Nilai Tukar Rupiah terhadap Ketahanan Perekonomian Nasional” di Universitas Paramadina. . , Jumat (2/8/2024).
Akademisi Universitas Paramadina Herdi Tri Nurwanto menjelaskan, terdapat sejarah panjang antara Bank Dunia dan pemerintah terkait situasi perekonomian Indonesia.
Herdi mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini disebabkan oleh defisit anggaran ganda, serupa dengan kondisi yang terjadi saat rezim Soeharto tumbang.
Pak Herdi juga mengingatkan kita akan banyaknya barang China yang masuk ke Indonesia. Menurutnya, masuknya produk-produk Tiongkok ke Indonesia telah menimbulkan masalah bagi serikat pekerja di seluruh negeri.
Dalam pemaparannya, Pak Herdi mengatakan, “Harus ada skala prioritas untuk perlindungan sektor kita, tapi kita tidak bisa menghadapi tekanan ini.”
Pak Herdi mengatakan, sebagai negara yang berdaulat ekonomi, pemerintah harus menerapkan tata kelola yang baik, hukum, proses demokrasi yang baik, dan yang terpenting, pembangunan ekonomi yang berkualitas dan komprehensif agar perekonomian tidak terpuruk.
Pada saat yang sama, Bapak Wahyu Utomo, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Keuangan Indonesia, melaporkan: Meskipun situasi global tidak menentu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil pada angka 5%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dunia.
Menurutnya, jika Indonesia bisa belajar ketahanan ekonomi dari gejolak perekonomian dan situasi dunia yang sebelumnya tidak menentu, maka Indonesia bisa melangkah lebih dalam.
Berdasarkan data tersebut, Wahyu juga menyatakan bahwa pada epidemi terakhir, kemiskinan akan berkurang dari 10 persen menjadi 9,03 persen, pengangguran akan berkurang dari 7 persen menjadi 4 persen, dan ketimpangan ekonomi akan berkurang pada tahun 2024.
“Dari sisi kesejahteraan sudah ada perbaikan, apakah cukup? Belum, masih perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Lebih lanjut Pak Wahyu juga menyampaikan bahwa kondisi keuangan Indonesia sebaiknya diukur dari 3 kelompok yaitu fleksibilitas, kerentanan dan keberlanjutan. Menurut dia, ketiga hal tersebut dapat menunjukkan fleksibilitas fiskal Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Ibu Ananda Bahri Prayudha, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Tani Muda, dalam sambutannya mengatakan: Faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem ketahanan pangan antara lain perubahan iklim, biaya produksi, kebijakan pemerintah, akses terhadap teknologi dan keanekaragaman hayati.
Selain itu, pendidikan sosial dan dukungan infrastruktur memainkan peran penting dalam memastikan pasokan dan distribusi pangan berkelanjutan.
Menurut Bapak Ananda, krisis pangan global sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim, bencana alam, virus, perubahan ekonomi dan geopolitik yang membuat negara-negara berkembang berisiko mengalami kekurangan pangan.
“Menelusuri jejak nilai tukar menunjukkan bahwa hubungan antara perekonomian dan ketahanan pangan sangatlah kompleks. Dengan kolaborasi dan inovasi, kita dapat mengatasi tantangan ini dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045,” kata Ananda.
Pengamat energi Iwan Bento Wijaya mengatakan perubahan nilai tukar secara langsung dapat mempengaruhi perubahan harga barang dan jasa dalam negeri, sehingga menambah modal produksi barang dan jasa serta mempengaruhi harga jual barang dan jasa. Hal ini dapat mempengaruhi daya beli masyarakat, angka perekonomian negara dan angka inflasi yang meningkat.
Kebijakan moneter dan kebijakan ekosistem ekonomi sangat diperlukan sebagai sarana intervensi negara di pasar dalam rangka melindungi nilai tukar dan daya beli masyarakat serta menurunkan tingkat inflasi.
“Sektor migas, pangan, dan pupuk merupakan salah satu produk andalan yang mempunyai dampak strategis bagi perekonomian negara. Jika rupiah melemah maka subsidi menjadi alat negara untuk menjaga stabilitas perekonomian. daya beli dan memastikan akses yang adil terhadap energi dan pangan “subsidi diperlukan,” jelasnya.
Melemahnya nilai tukar rupiah juga berdampak pada meningkatnya biaya produksi yang dalam hal ini sangat meningkatkan modal produksi para pengusaha, termasuk BUMN. Minyak, pupuk, dan pangan merupakan salah satu sektor impor terbesar, sehingga nilainya rupiah melemah banget, pemerintah harus perkuat rupiah. “Langkah strategis yang dilakukan pengusaha dan BUMN bisa jadi beban modal dan APBN,” imbuhnya.