Final Debat Hukum Polri: Undip Bicara Restorative Justice, Unhas Kritisi Beda Tafsir Antar Instansi

Danang Triatmojo dilansir dari Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.

Acara terakhir ini digelar di Hotel Kartika Chandra, Jakarta Selatan, pada Selasa (30/7/2024).

Petugas rombongan ke 3 wilayah Jawa yang diwakili oleh mahasiswa FH Undip yaitu Ratu Siregar, Dian Putri Maharani dan Yolanda Keisha menyampaikan pandangannya mengenai restorative justice (RJ).

Menurutnya, penerapan RF berbasis kepolisian akan memberikan sistem yang lebih efisien dan legal.

Selain itu, RJ menekankan peran Polri sebagai pihak yang berpartisipasi dalam sistem peradilan pidana.

Hal tersebut merupakan bagian dari kepolisian sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya kepolisian adalah menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat.

Ratu Siregar mengatakan: “Saat ini paradigma kepolisian telah berubah dimana polisi tidak hanya harus menjadi polisi sipil atau polisi pelayanan publik, tetapi polisi yang beradab, polisi yang mengutamakan keselamatan dan keamanan.” menampilkan

Kedudukan ini juga berkaitan dengan falsafah nasional Indonesia yaitu sila ke-5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hal ini juga terdapat dalam buku ajar KUHP Nasional (UU Nomor 1 Tahun 2023) yang menyebutkan bahwa pengertian restorative justice adalah menyelesaikan konflik dengan menghindari punishment justice.

“Jika kita fokus pada keadilan yang pro-polisi, kita akan mencapainya lebih cepat,” katanya.

Selain itu, tim Polda Sulsel yang diwakili oleh Fadillah Nur Alzahra, Nurfara Zamzani, dan Hermawan Susanto memberikan pemaparan tentang keadilan dalam mendukung penyidik ​​dan pelaksanaannya.

Satgas Polda Sulsel melaporkan perbedaan cara masing-masing instansi dalam menangani peradilan pidana turut menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap hukum.

Hal ini berlaku pada Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021, Peraturan Kejaksaan Nomor 5 Tahun 2020, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024.

Kemudian Perpol Nomor 8 Tahun 2021 dianggap jelas bertentangan dengan lex superior derogate legi inferiori, yakni peraturan perundang-undangan di tingkat bawah tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya.

Dalam konteks ini, Perpol 8/2021 bertentangan dengan aturan yang mengatur proses pidana.

Selain itu, tidak ada batasan waktu penyelesaian suatu perkara yang diputus oleh sistem peradilan.

Hal ini berdampak pada lamanya waktu yang dihabiskan di SP3 dan menjadikan penyelesaian masalah sebagai sumber pendapatan atau uang sembunyi-sembunyi bagi polisi.

“Tidak adanya penetapan pengadilan setelah polisi menerapkan sistem peradilan menimbulkan ketidakpastian hukum karena penghentian penyidikan berdasarkan SP3 artinya dapat dibuka dan dituntut,” kata Fadila.

Terkait hal tersebut, tim Polda Sulsel meminta solusi dengan membentuk badan hukum khusus yang melibatkan Bappenas, BPHN, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Akademisi, dan Praktisi.

Kemudian menetapkan pedoman teknis agar proses peradilan ditinjau secara merata oleh semua lembaga, dan peradilan dipimpin oleh Mahkamah Agung yang merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan menentukan hasil sistem peradilan.

Saat ini polisi hanya fokus pada arah operasinya, ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *