TRIBUNNEVS.COM – Feri Amsari, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, ragu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serius menangani dugaan gratifikasi Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Feri, Komite Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga antikorupsi yang berada di bawah lembaga eksekutif, kurang berani mengungkap kasus-kasus yang berkaitan erat dengan presiden.
Ferry menilai lembaga antikorupsi kini ibarat ‘boneka’ Presiden Joko Widodo.
Komentar Ferry tersebut muncul dalam acara review Tribune, Rabu (04/09/2024).
“Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi boneka Presiden karena menjadi lembaga dalam lembaga eksekutif yang dibentuk dan dibentuk oleh Presiden sendiri.”
Pertanyaannya adalah bagaimana boneka seperti Komisi Pemberantasan Korupsi bisa mengusut kasus yang berkaitan erat dengan keluarga presiden, kata Ferry, Rabu (9/4/2024).
Ferry mengatakan, PKC hanya bermain-main dalam menyelesaikan kasus rasa puas diri yang diklaim Kesang.
Ia menilai, dalam menangani kasus tersebut, tindakan PKC hanya untuk meredam kemarahan masyarakat karena telah menjadi viral.
Feri menilai taktik tersebut tidak hanya dilakukan KPK, tapi juga pihak lain.
“Bagi saya, drama ini perlu diselesaikan karena masyarakat bertanya-tanya dan ini menjadi viral.” Yang menjadi pertanyaan bukan hanya siapa yang memberikan hadiah ini, namun seberapa pentingkah hal tersebut.
“Bahkan detail terkecil dari insiden pesawat jet ini dibicarakan di mana-mana.” Ini yang perlu (komisi antirasuah) meredam kemarahan masyarakat atas viralnya kasus ini dengan menggunakan taktik seperti itu,” ujarnya.
Dalam analisisnya, Ferry menegaskan, menurutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum sempurna dalam mengusut dugaan berpuas diri Kesang.
Ungkap keluarga Jokowi
Di sisi lain, Feri Amsari menilai kejadian yang diduga dipuaskan Kesang Pangarep merupakan upaya menutup-nutupi keluarga Jokowi selama ini.
Selama sepuluh tahun, keluarga Presiden Jokowi dikenal dengan citra sederhana dan tidak terlibat dalam politik bisnis atau kepentingan lainnya, kata Ferry.
Namun menurutnya, topeng tersebut kini mulai terungkap.
Ia menilai kesederhanaan keluarga Jokowi sebelumnya hanyalah kedok.
“Bagi kita semua, ini adalah wahyu dari keluarga Pak Jokowi. Selama 10 tahun terakhir, beliau dengan sangat manis menyamarkan keluarganya sebagai keluarga yang sangat sederhana, tanpa mencampuri kepentingan politik, bisnis, dan lain-lain. satu per satu.”
Feri menduga ada banyak permainan yang tersembunyi di balik gambaran polos Jokowi dan keluarga.
“Ini banyak menjelaskan, ini bukan keluarga politik biasa, ini keluarga kasat mata, tapi banyak permainan di baliknya, ini gambaran betapa korupnya keluarga ini,” kata Ferry.
Lebih lanjut, Ferry menilai kepuasan yang diutarakan Kesang memang benar adanya.
Kapal feri tersebut menyinggung bentuk-bentuk hiburan yang dapat diterima atau tidak dapat diterima oleh keluarga Presiden.
Menurut dia, jika ada pihak yang puas maka yang bisa diperiksa adalah Presiden.
“Kita harus ingat, kalau yang mendapat dari pihak keluarga, maka salah satu yang diperiksa adalah orang yang tercatat sebagai pemberi. Yang terlibat dalam pemberian itu adalah Presiden,” kata Ferry.
Dugaan kepuasan Kesang bermula dari posisi istrinya
Kasus tip jet pribadi yang diduga diterima Ketua Umum PSI dan putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep bermula dari Instagram Story yang diposting istrinya Erina Gudono.
Dalam unggahannya, Erina memposting foto yang memperlihatkan jendela pesawat dengan pemandangan awan.
Namun, banyak yang berpendapat bahwa foto ini diambil dengan pesawat pribadi, bukan pesawat komersial.
Diketahui, pesawat yang ditumpangi Kaesang dan Erina untuk berangkat ke Amerika Serikat merupakan jet Gulfstream G650ER.
Diketahui pula harga sewa jet pribadi mencapai Rp 8,7 miliar.
Usai postingan tersebut viral, Kaesang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi karena jet pribadi tersebut disebut-sebut merupakan hadiah dari perusahaan e-commerce ternama.
Sejauh ini, Komite Pemberantasan Korupsi telah menerima dua laporan dari koordinator Asosiasi Pemberantasan Korupsi Indonesia (MAKI) Boiamin Saiman dan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun.
(Tribunevs.com/Milani Resti/Iohannes Liestio)