Pernyataan reporter Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan sekitar 970 juta orang di dunia menderita gangguan jiwa.
Ironisnya, studi gabungan antara WHO dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa 15 persen pekerja dewasa tercatat memiliki gangguan jiwa.
Menurut psikolog Fifi Pramudika, masalah psikologis yang paling banyak dialami pekerja adalah kecemasan dan depresi.
Jika tidak ditanggulangi, masalah kesehatan mental ini bisa berdampak pada pekerjaan.
“(Tentunya), hadirnya penyakit jiwa berdampak pada produktivitas,” ujarnya pada acara Kementerian Kesehatan dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Jumat (10/11/2024).
Lalu apa penyebab masalah kesehatan mental di tempat kerja? Menurut WHO, ada banyak faktor risiko terjadinya masalah kesehatan mental di tempat kerja.
Pertama, orang tersebut tidak terampil atau lebih tepatnya pekerjaan yang dilakukannya tidak memerlukan banyak keterampilan.
Misalnya, pegawai negeri sipil (PNS) disuruh mengerjakan tugas-tugas yang bersifat administratif dan rumit. Ini juga membosankan. Dari segi keterampilan (juga) baru, imbuhnya.
Atau sebaliknya, ada pekerja dengan gelar master yang digunakan untuk melakukan tugas-tugas kompleks, seperti penelitian dan studi.
Selanjutnya jenis pekerjaan yang akan dilakukan adalah proses perencanaan. Situasi ini juga membuat stres.
Kedua, ruang lingkup pekerjaan atau bagian pekerjaan yang kurang baik.
“Misalnya, suatu pekerjaan seharusnya memiliki 10 orang, tetapi departemen jasa hanya memiliki lima orang. Mungkin analisis kesatuan dalam karya ini kurang baik. Hal ini juga meningkatkan risiko masalah kesehatan mental di tempat kerja,” tambahnya.
Ketiga, masa kerja tidak berubah-ubah. Oleh karena itu, pengguna tidak dapat berinteraksi. Situasi ini juga dapat menyebabkan stres. Bukan hanya stres mental, tapi juga stres fisik.
Keempat, kurangnya manajemen proyek. Kelima, kondisi tempat kerja tidak baik atau buruk.
Kelima, adanya budaya organisasi yang membolehkan perilaku buruk.
“Misalnya di tempat kerja yang banyak terjadi penipuan atau pemalsuan data. Mahasiswa baru masih di sini (bertanya) kenapa mengulang dan memalsukan data,” lanjutnya.
Keenam, tidak ada dukungan yang lebih tinggi. Pekerjaan ini tidak didukung.
Ketujuh, adanya situasi kekerasan, penyiksaan, pengancaman, pengancaman dan sebagainya. Masalah lainnya adalah masalah psikologis.
Kedelapan, adanya diskriminasi dan eksklusi.
“Kadang ada penjahatnya, tapi bukan anggota komplotannya, tidak terlibat (dalam hal pekerjaan),” tutupnya.