Laporan reporter Tribunnews.com, Ayesha Noorsiamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Belakangan ini banyak negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang dilanda gelombang panas parah.
Di beberapa negara suhunya mencapai hampir 45 derajat Celcius. Gelombang panas disebut-sebut merupakan dampak dari perubahan iklim yang sedang berlangsung.
Dalam konteks ini, ahli epidemiologi Indonesia dan peneliti dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menyarankan pengurangan terhadap gelombang panas.
“Untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan global dan risiko wabah penyakit, diperlukan tindakan di tingkat global, nasional, dan lokal,” kata Dickey dalam keterangannya, Selasa (30/4/2024).
Usulan pertama, Dickey menyerukan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui kebijakan energi bersih.
Mengurangi deforestasi, meningkatkan adaptasi perubahan iklim dan memperkuat sistem kesehatan masyarakat.
Selain itu, peningkatan pengawasan penyakit dan sistem peringatan dini.
Menurut Dickey, negara berkembang seperti Indonesia menghadapi risiko tambahan akibat perubahan iklim.
Sebab daerah tropis lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan curah hujan.
Dampaknya antara lain peningkatan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, serta peningkatan kasus malaria dan demam berdarah, tambahnya.
Untuk mengurangi risiko ini, Indonesia harus mengambil langkah-langkah seperti pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Hal ini disusul dengan pembangunan infrastruktur tahan bencana.
Dan juga meningkatkan kapasitas sistem kesehatan untuk menghadapi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.
Tidak hanya itu, peningkatan sistem peringatan dini, pembangunan infrastruktur tahan panas, dan edukasi masyarakat tentang langkah-langkah pencegahan dan adaptasi juga harus didorong.
“Serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca untuk memperlambat perubahan iklim secara umum,” tutupnya.