Empat Catatan Ombudsman ke Pemerintah Soal Transisi Penerapan KRIS BPJS Kesehatan

Dilansir Andrapta Pramodiyaz, jurnalis Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Inspektur Jenderal RI telah mengeluarkan empat catatan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap transisi standar kebersihan BPJS (KRIS) kelas rawat inap sebelum penerapan penuh pada Juli 2025.

Ketua Ombudsman Indonesia, Robert Na Andi Jaung, mengatakan ketimpangan layanan rumah sakit adalah penyebab utama salah urus layanan kesehatan.

Ia berharap KRIS membawa semangat baru untuk menghilangkan disparitas pelayanan medis di rumah sakit.

Selain itu, Robert juga berharap KRIS dapat mentransformasi pelayanan kesehatan menjadi pelayanan kesehatan yang adil dan setara sebagaimana amanat Konstitusi.

Poin pertama, menurutnya, merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan terpenuhinya kondisi dasar rumah sakit sebagai prasyarat penerapan KRIS.

“Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan pemerintah daerah wajib mengkaji secara matang implementasi kapasitas RS KRIS, yang hanya bisa terlaksana dengan baik jika aset permodalan rumah sakit tersedia,” kata Robert dalam keterangan tertulis, Selasa (28). /5/2024).

Kedua, inspektur meminta pemerintah memastikan kuantitas dan kualitas sumber daya medis (SDM) di rumah sakit.

Menurut Robert, pemerintah saat ini sepertinya hanya fokus pada peningkatan kualitas infrastruktur kesehatan.

Namun, mereka cenderung mengabaikan upaya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.

Dia mengatakan Ombudsman melihat pengalihan HRK sebagai kunci upaya menyederhanakan kelas layanan standar.

Pihaknya menemukan di beberapa daerah, misalnya, sudah tersedia laboratorium kateterisasi jantung di rumah sakit, namun dokter spesialisnya belum ada.

“Kami ingin Kementerian Kesehatan memberikan perhatian khusus terhadap ketersediaan HRK,” tambah Robert.

Ketiga, pemerintah berkewajiban menciptakan skema pembayaran bantuan yang adil. Penetapan tarif baru sebaiknya dilakukan sebelum melakukan klarifikasi dan konsultasi dengan masyarakat.

“Ini sangat penting untuk mengantisipasi penonaktifan peserta JKN,” kata Robert.

Selain itu, ada pendapat bahwa rencana pengenalan biaya baru harus sejalan dengan kesadaran pengelola rumah sakit untuk meningkatkan manajemen pelayanannya.

Besar kecilnya partisipasi peserta bergantung pada hasil evaluasi yang dilakukan pada saat penerapan KRIS tahap awal.

“Inspektorat pusat dan kantor perwakilan di 34 provinsi secara aktif memantau dan memantau sejauh mana rumah sakit mitra BPJS memanfaatkan masa transisi untuk perbaikan nyata,” jelas Robert.

Keempat, KRIS harus memastikan adanya peningkatan yang tinggi dalam layanan kesehatan masyarakat.

Penerapan standar-standar ini tidak boleh terbatas pada standar ruang perawatan, kata Robert. Namun standar pelayanan medis bahkan non medis justru lebih tinggi.

Robert menyerukan kesetaraan akses, yang merupakan inti dari etos standardisasi, bukan kesetaraan dalam menerima layanan di bawah standar.

Namun kesetaraan dalam penggunaan hak dan jaminan pelayanan kesehatan yang bermutu.

“KRIS jangan sampai menghilangkan kualitas pelayanan yang ada saat ini dan standar pelayanan yang lebih rendah, tidak boleh adil, tapi adil dalam kasus yang buruk,” kata Robert.

Lanjutnya, “Setidaknya setiap warga dan daerah mempunyai standar minimal dalam pemberian pelayanan.

“Keadilan sosial antar warga dan keadilan daerah antar daerah merupakan narasi besar yang melandasi implementasi KRIS berdasarkan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan,” ujar Robert kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *