Wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan KPK (KPK) Febri Diansyah mengaku dilarang keluar negeri saat menjadi pengacara mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Pernyataan itu terungkap saat Febri diperiksa Ketua Hakim Rianto Adam Pontoh dalam penyidikan akhir kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian (Kementan) dengan terdakwa SYL di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (3/). 6/2024).
Febrie yang hadir sebagai saksi dalam persidangan pertama kali ditanya hakim apakah ia tergabung dalam tim kuasa hukum di bawah SYL, mantan Sekretaris Kementerian Pertanian Muhammad Hatta, dan bersama Direktur Alat dan Mesin Pertanian. Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono sebagai penggugat.
Mendengar pertanyaan hakim, Febri mengatakan dirinya dan tim beranggotakan 8 orang menandatangani surat kuasa dengan ketiga penggugat pada 5 Oktober 2023.
“Lalu ada jaksa, apakah kamu pengacara?” Hakim Pontoh bertanya.
“Kalau dihitung dari Sprindik atau penelusuran, amanahnya baru sekitar tanggal 5 Oktober 2023,” jelas Febri.
Febri kemudian menjelaskan kepada hakim bahwa pada pertengahan November 2023 SYL telah melepaskan kewenangan hukum atas dirinya dan rekan-rekannya.
Tapi, kata Febri, sebelum kewenangan hukumnya dicabut, dia dan kedua rekannya sudah mendapat larangan dari KPK.
Kepada hakim, Febri mengatakan dirinya dilarang berkencan dengan Rasmala Aritonang dan rekannya yang bukan tim kuasa hukum SYL C.
“Kamu harus keluar lalu berbicara dengan (SYL)?” tanya hakim.
“Ada peningkatan dan perkembangan di awal November (2023) lalu saya dilarang bepergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan,” kata Febri.
Hingga Pak Syahrul memutuskan mengundurkan diri dan langkah terakhirnya adalah mengakhiri kewenangan hukumnya, lanjut Febri kepada hakim.
Namun saat ditanya hakim alasan dirinya dilarang ke luar negeri oleh komisi antirasuah, Febri mengaku belum mengetahui secara pasti.
Dalam pandangannya, larangan yang ditiru pengurus hanya bertujuan normatif.
“Definisi yang kami baca dari larangan tersebut berarti bahwa setiap kali permintaan informasi diperlukan, permintaan informasi tersebut dapat dipanggil atau tidak saat Anda sedang keluar,” kata Febri.
Namun Febri menjelaskan, selama enam bulan pembelaannya di luar negeri, ia mengaku tidak dipanggil lagi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dimintai keterangan.
“Sampai akhir pembelaan sekitar sebulan terakhir, kami selalu mengapresiasinya, meski terpanggil untuk datang,” jelasnya.
Seperti diketahui, SYL didakwa dalam kasus ini menerima uang ganti rugi sebesar Rp 44,5 miliar.
Jumlah yang diterima SYL adalah dari tahun 2020 hingga 2023.
SYL mendapatkan uang tersebut dengan merekomendasikan pejabat Eselon I Kementerian Pertanian.
Dalam pekerjaannya, tak hanya SYL, ia dibantu oleh Direktur Alat dan Mesin Kementerian Pertanian Muhammad Hatta dan mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono yakni para terdakwa.
Selain itu, uang yang dikumpulkan Kasdi dan Hatta digunakan untuk kepentingan pribadi SYL dan keluarganya.
Berdasarkan pengaduan, belanja terbesar dari uang tersebut digunakan untuk acara keagamaan, kegiatan kementerian, dan belanja lainnya yang tidak termasuk dalam kategori yang ada, kemungkinan mencapai Rp 16,6 miliar.
Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat dengan beberapa pasal.
Pembayaran pertama: Pasal 12 huruf juncto Pasal 18 UU Pencegahan Tipikor juncto Pasal 55.1.1 KUHP dibaca dengan Pasal 64.1 UU Tipikor.
Pengaduan kedua: Pasal 12 huruf f juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dibandingkan dengan Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dakwaan ketiga: Pasal 12 B juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor dibandingkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dibandingkan dengan Pasal 64 ayat (1) KUHP.