TRIBUNNEWS.COM – Perekonomian Israel sedang ‘puruk’, hal ini gara-gara perang di Gaza.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, dilansir The Times of Israel, Kamis (5/8/2024).
Smotrich mengatakan untuk mencapai target defisit 4 persen yang ditetapkan pada tahun 2025 akan memerlukan langkah-langkah yang mencakup pembekuan sektor publik, namun tidak menaikkan pajak.
Ia memaparkan rancangan pertama anggaran pemerintah untuk tahun 2025 berdasarkan target defisit hingga 4 persen dari produk domestik bruto, yang memerlukan perubahan belanja sebesar NIS 35 miliar ($9,5 miliar) untuk menutupi biaya perang yang sedang berlangsung. .
“Kita berada dalam perang terpanjang dan termahal dalam sejarah Israel dengan kerugian langsung sebesar 200 hingga 250 miliar dolar ($54 miliar hingga $68 juta ribu),” kata Smotrich pada konferensi pers di Yerusalem.
Diketahui rupiah 54 miliar dolar sama dengan Rp832.007.700.000.000 (Rp832 triliun) dan rupiah 68 miliar dolar sama dengan Rp1.048.075.853.600.000 (Rp1 kuadriliun).
“Perang ini dimulai dengan krisis besar antara negara dan warganya dan kita harus membangun kembali kepercayaan,” katanya.
Oleh karena itu, usulan anggaran Smotrich untuk tahun 2025 menggunakan kebijakan kondisi perekonomian pasca runtuhnya perekonomian Israel akibat perang di Gaza. Israel berada di ambang kehancuran
Meskipun Israel telah mengeluarkan banyak uang dalam perang di Gaza melawan Hamas dan militan Islam, nampaknya Israel masih jauh.
Seorang mantan perwira senior di Pasukan Pertahanan Israel mengkritik perang yang sedang berlangsung melawan Gaza, dengan alasan bahwa strategi yang saat ini digunakan oleh tentara Israel (IDF) sebenarnya menargetkan kemungkinan kejatuhan Israel, bukan kemenangan.
Hal tersebut diungkapkan purnawirawan Mayor Jenderal Yitzhak Brik, dikutip Middle East Monitor.
Menurut seorang pensiunan pejabat, perang di Gaza telah menyebabkan kerusakan besar pada IDF dan stabilitas Israel secara umum.
Ia juga menentang pandangan para pemimpin politik dan militer Israel yang menganggap penarikan pasukan dari Gaza setelah perjanjian gencatan senjata dengan Hamas akan menandakan kekalahan.
Brik menggambarkan hal ini sebagai “kesalahpahaman mendasar” terhadap situasi tersebut, dan berpendapat bahwa hal tersebut digunakan untuk membenarkan upaya perang yang sedang berlangsung dan tidak efektif.
Strategi yang diterapkan saat ini, tulisnya, termasuk serangan berulang-ulang terhadap Gaza, tidak mencapai tujuannya.
Dia memperingatkan bahwa IDF masih lemah dan operasi lebih lanjut akan memperburuk situasi.
“Jika kita terus berperang di Gaza dengan menyerang dan menyerang sasaran yang sama lagi, kita tidak hanya akan bekerja sama dengan Hamas, tapi kita sendiri yang akan tumbang,” ujarnya.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)