Laporan reporter Tribunnews.com Nitis Havaro.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Drajad Hari Wibowo menilai kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 pada tahun 2025 akan berdampak negatif pada konsumsi rumah tangga.
Sebab, menurutnya, bir dalam negeri menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, tingkat dana federal yang lebih rendah juga berdampak pada pasar yang lebih luas.
“Jadi kalau tersendat karena PPN 12 persen, saya khawatir akan mempengaruhi pertumbuhan kita,” kata Drajad usai mengikuti kuliah umum mahasiswa pascasarjana Universitas Pancasila di Jakarta, Sabtu (9 Juli 2024).
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen. Drajad mengaku khawatir target tersebut mungkin sulit dicapai dengan kebijakan PPN 12 persen pada tahun 2025.
Karena itu, Drajad mengaku akan mengusulkan penangguhan PPN sebesar 12 persen.
“Saya masih belum tahu apakah saya seorang ekonom. Karena sejujurnya saya khawatir dengan konsekuensi mengeluarkan uang di rumah. Apalagi sekarang dengan kelas menengah seperti sekarang,” jelasnya.
“Mungkin saya harus berhenti menggunakan 12 persen,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 akan tetap berjalan.
Namun, kata dia, ada sejumlah barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN 12 persen, meski pada tahun depan harganya akan naik.
“Ada instrumen fiskal lain – PPN, yang tidak diperbolehkan. Masyarakat mengira semua barang dan jasa kena PPN,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2025 di Kantor Umum Pajak Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Namun nyatanya dalam Harmonisasi Aturan Perpajakan (HTR) jelas disebutkan bahwa sembako, pendidikan, kesehatan, dan transportasi dibebaskan dari PPN,” tegasnya.
Tarif PPN mulai 1 April 2022 sebesar 11 persen. Mulai 1 Januari 2025 tarifnya naik menjadi 12 persen.
Namun ada batasan PPN minimal 5 persen dan maksimal 15 persen. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UHES).