Ekonom: Industri Manufaktur Indonesia Masih yang Terkuat di Asia Tenggara

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekonom Universitas Brawijaya Wildan Siafitri memuji pencapaian industri manufaktur Indonesia dengan mengatakan Indonesia menempati peringkat 12 negara manufaktur teratas dalam nilai tambah global dengan nilai produksi (MVA) sebesar 255 miliar dolar AS.

Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya, yakni Thailand dan Vietnam, dengan nilai MVA hanya separuh dari Indonesia yang masing-masing sebesar US$128 miliar dan US$102 miliar.

“Pencapaian sektor manufaktur Indonesia patut diapresiasi karena dianggap sebagai pencapaian positif bahwa Indonesia benar-benar dapat meningkatkan kinerja sektor manufaktur dalam konteks krisis,” kata Wheeldan.

Data Nilai Tambah Manufaktur Indonesia (MVA) yang diterbitkan Bank Dunia mengalami peningkatan signifikan selama lima tahun terakhir.

Data terkini kinerja sektor manufaktur juga menunjukkan nilai positif. Pada triwulan I tahun 2024, sektor nonmigas memberikan kontribusi sebesar 17,47 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), menyumbang 4,64 persen dan merupakan penerimaan pajak terbesar sebesar 26,9 persen.

Dari sisi ekspor, pada semester I tahun 2024, nilai ekspor produk industri pengolahan minyak dan gas bumi sebesar US$91,65 miliar atau setara 73,27 persen dari total ekspor nasional, serta menyerap lapangan kerja bagi 18,82 juta orang.

Selain itu, pada periode yang sama, investasi pada sektor manufaktur mencapai 38,73 persen senilai Rp155,5 triliun.

“Tren positif ini dapat diartikan sebagai peningkatan produktivitas industri. “Situasi ini juga merupakan cerminan dari kekuatan industri yang berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini mencerminkan dan menggambarkan derajat kekuatan industri dalam perekonomian nasional,” jelas Wheeldan.

“Tindakan ini bukan hanya karena Indonesia mendapat manfaat dari krisis rantai pasokan akibat perang Rusia-Ukraina, namun juga karena perannya dalam pembangunan infrastruktur, investasi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia,” kata Wheeldan.

Secara khusus, Wheeldan menyoroti posisi industri manufaktur Indonesia yang unggul dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Thailand yang berada di peringkat 22 dan Vietnam yang berada di peringkat 24. Menurutnya, pencapaian tersebut merupakan pertumbuhan yang signifikan berkat kebijakan industri dan kebijakan investasi yang prudent.

“Jika dicermati, permintaan bahan baku strategis seperti nikel dan unsur tanah jarang sebagian besar merupakan komoditas yang nilainya diambil sebagai nilai tambah dari arus komoditas. “Indonesia dapat lebih mendorong inovasi industri untuk mengurangi ekspor produk setengah jadi dan meningkatkan ekspor barang jadi,” kata Wheeldan.

Mempromosikan inovasi dan penelitian dan pengembangan; fasilitasi investasi; Selain untuk memenuhi kebutuhan pekerja rumah tangga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terampil. Menyadari pencapaian tersebut sebagai prestasi Kementerian Perindustrian, Bidang Perindustrian.

Secara khusus Wheeldan juga menyoroti respon Indonesia terhadap kondisi impor murah dari Tiongkok yang menyerbu Indonesia. Menurutnya, impor barang-barang murah dari Tiongkok sudah lama tertunda dan Tiongkok telah berinovasi dan memasuki pasar Indonesia melalui peningkatan kapasitas dan skala ekonomi, sehingga barang-barang murah kelas menengah menjadi lebih kompetitif.

“Selera pasar berubah dengan cepat dan prospek pasar ke depan dapat diadaptasi dengan baik oleh pabrikan Tiongkok, didukung oleh infrastruktur yang baik dan investasi yang mudah. Jika kondisi ini terus berlanjut, lambat laun industri lokal akan mati. “Industri lokal perlu lebih beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan peraturan pemerintah diperlukan untuk melindungi industri lokal dari serangan impor,” kata Wheeldan.

Terkait impor tersebut, Wheeldan menekankan pentingnya peran Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan dalam melindungi industri dalam negeri.

“Departemen Perdagangan harus meningkatkan standar produk impor. “Pada saat yang sama, Kementerian Keuangan harus mengendalikan bea masuk untuk produk tertentu, mengurangi fasilitas kredit impor dan tidak lupa meningkatkan dukungan keuangan bagi eksportir,” tegas Vildan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *