Laporan reporter Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2019 menunjukkan pneumonia menyebabkan 14 persen kematian anak balita atau sebanyak 740.480 kematian.
Selain itu, data UNICEF menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab utama kematian anak balita di Indonesia, dengan 19.000 kematian pada tahun 2018.
Menurut perkiraan internasional, 71 anak di Indonesia terinfeksi pneumonia setiap jamnya.
Dokter spesialis anak konsultan respirologi, prof. Dr. Cissy Kartasasmita, Sp.A(K), M.Sc, PhD menjelaskan penyakit ini merupakan silent killer pada anak di bawah usia lima tahun.
Pneumonia terjadi akibat peradangan pada paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau penyakit jamur yang menyebabkan sesak napas, membuat anak tidak dapat bernapas, dan menyebabkan demam, batuk berlendir bening atau kuning, hijau atau berdarah. ,” kata dr Cissy Kartasasmita dalam rilisnya, Rabu, 5 Juni 2024.
Menurut Profesor Cissy, gejala awal pneumonia sulit dibedakan dengan penyakit pernapasan lainnya.
“Hal ini sering terabaikan sehingga penting bagi orang tua untuk mengenali berbagai tanda awal dan penyebab risiko pneumonia. Dampaknya bisa berujung pada kematian, itulah sebabnya pneumonia disebut sebagai silent killer,” ujarnya.
Salah satu penyebab pneumonia adalah virus pernapasan syncytial (RSV). Virus ini adalah penyebab utama pneumonia virus. Referensi data dari empat penelitian lokal yang berbeda juga menunjukkan bahwa ini adalah virus tahunan.
Puncak kasus terjadi pada minggu ke-48 (awal Desember) hingga minggu ke-16 (akhir Maret). Namun para ahli masih percaya bahwa penyakit ini akan terjadi setelah flu sepanjang tahun.
Penyebab tersering infeksi RSV adalah bayi, bayi dengan cacat lahir seperti kelainan jantung, bayi dengan BPD (brocho-pulmonary dysplasia) dan CP (cerebral palsy).
Diperkirakan 2,02 persen bayi prematur berisiko tinggi tertular RSV. Bayi prematur memiliki angka kematian tertinggi sebesar tiga persen, dibandingkan dengan anak-anak yang “hanya” 0,4 persen akibat COVID-19.
Artinya, risiko tertular RSV tinggi pada bayi prematur. Pada saat yang sama, Indonesia memiliki angka kelahiran yang tinggi yaitu lebih dari 10 persen, kata Prof. jelas Cissy.
Berdasarkan Survei Kesehatan Dasar tahun 2018, angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia sebesar 29,5 persen per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2018. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kelahiran prematur tertinggi kelima di dunia, yakni sebanyak 657.700 jiwa.
Oleh karena itu Prof Cissy berpendapat penting bagi masyarakat untuk mengetahui apa itu RSV dan juga pentingnya mencegah kelahiran prematur guna mengurangi risiko kematian bayi.
Hal lain yang perlu diingat adalah pneumonia akibat virus biasanya tidak menimbulkan gejala serius, namun membutuhkan waktu lama untuk sembuh.
Pneumonia dapat menyebar melalui tetesan air liur atau cipratan air. Hal ini dapat dicegah dengan mencuci tangan, menjaga sirkulasi udara dalam ruangan, mengurangi polusi udara, dan memberikan antibodi monoklonal kepada anak, terutama anak prematur.
Perlindungan terhadap pneumonia yang disebabkan oleh infeksi virus tersedia melalui vaksin DPT, hepatitis B dan A, dan HiB; Sedangkan pneumonia yang disebabkan oleh infeksi virus, polio, MR/MMR, demam berdarah, influenza, dan vaksin cacar air dapat melindungi anak dari penyakit tersebut.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) merekomendasikan untuk melindungi anak-anak dengan antibodi monoklonal RSV.
“Untuk itu, penting bagi Pemerintah dan kita semua untuk meningkatkan kekuatan dalam melindungi anak-anak yang belum cukup umur dengan kesehatan yang baik, memberikan edukasi kepada mereka tentang pencegahan pneumonia, dan memperkuat tentara anak dengan vaksinasi terjadwal. kata Prof Cissy.