Dulu Diremehkan, Soft Power China Kini Begitu Dahsyat: Begini yang Terlihat Nyata di Asia Tenggara

Tribunnews.com Laporan jurnalis Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – China terus menunjukkan keunggulannya dalam penggunaan sistem soft power di banyak negara di dunia, menjadikan China sebagai negara soft power ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Inggris.

Meskipun Tiongkok selalu memiliki pengaruh ekonomi dan budaya yang besar, Tiongkok tidak pernah dianggap sebagai kekuatan lunak di masa lalu. Sebab, perekonomian Tiongkok saat itu belum berkembang.

Dengan dukungan ekonomi yang kuat, soft power Tiongkok tersebar di tiga sektor utama. Ini adalah budaya, pendidikan, dan teknologi.

“China terus memperkuat soft powernya di bidang kebudayaan, pendidikan, dan teknologi. Soft power China meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. China termasuk di antara 193 negara dalam hal soft power,” kata Leo Suryadinata ketiga konferensi “Kebangkitan soft power Tiongkok dan trennya di Asia Tenggara dalam bidang pendidikan dan budaya populer” diadakan di Jakarta pada Selasa, 5 November 2024. 

Seminar ini diselenggarakan bersama oleh Departemen Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universiti Pelita Harapan (UPH) dan Forum Indonesia untuk Studi Tionghoa (FSI).

Menurut Profesor Leo Suryadinata, perkembangan soft power Tiongkok merupakan hal yang menarik.

“Pencapaian ini menarik karena meski Tiongkok masih berada di bawah Inggris dan AS, namun berada di atas negara-negara seperti Jerman dan Jepang yang selama ini menjadi kekuatan global,” kata Profesor Leo.

Ia menjelaskan ada dua hal yang menonjol dari soft power Tiongkok: bisnis dan perdagangan, serta pendidikan. Seminar bertajuk “The Rise of China’s Soft Power and its Impact on the Education and Popular Culture Sector in Southeast Asia” ini diselenggarakan pada Selasa, 5 November 2024 di Jakarta. Seminar ini diselenggarakan oleh Departemen Magister Ilmu Komunikasi (Mycom) Universitas Pelita Harapan. (UPH) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI).

Ia berkata, “Budaya dan warisan juga membuat Tiongkok hebat karena negara ini sangat kaya akan warisan. Tiongkok akan menggunakan kekuatan lunak (soft power) untuk memperkuat kekuatannya di dunia. Hal ini telah berhasil.”

Ia menambahkan, soft power Tiongkok di negara-negara Asia Tenggara berkembang pesat, terutama di bidang pendidikan dan kebudayaan.

“Soft power penting bagi kami. Orang-orang di Universitas Harvard baru saja membicarakannya pada tahun 1980-an. Saat itu, Tiongkok dianggap tidak memiliki soft power, sehingga digunakan soft power di Tiongkok. katanya. Profesor Leo Suryadinata menjelaskan. .

Ia menekankan, tingkat soft power suatu negara erat kaitannya dengan power yang dimilikinya.

“Ketika suatu negara sedang berkembang dan miskin, orang sering tidak membicarakan soft power yang dimilikinya,” ujarnya. Soft power Tiongkok meningkat di abad ke-21

Ia menjelaskan, soft power Tiongkok baru muncul pada abad ke-21. Hal ini ada hubungannya dengan kebangkitan Tiongkok. Hanya negara maju dan negara dengan kekuatan ekonomi kuat yang mempunyai soft power.

“Kekuatan Tiongkok meningkat sejak kepemimpinan Deng Xiaoping. Tiongkok telah melampaui Amerika Serikat dalam beberapa bidang teknologi, meskipun kekuatan militernya masih di bawah Amerika Serikat,” kata Profesor Leo.

Sebagai negara maju, Tiongkok mengekspor uang dalam jumlah besar melalui BRRI (sebelumnya OBOR). Kekuatan ekonomi Tiongkok menciptakan kepercayaan dan menyebarkan soft power.

Profesor Leo mengatakan sejauh mana kekuatan lunak (soft power) Tiongkok belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, masih diperlukan lebih banyak penelitian mengenai dampak dan implikasi dari pertumbuhan soft power Tiongkok.

Terkait soft power Tiongkok, Profesor Leo mengatakan, pemerintahan Tiongkok sudah mulai berubah sejak diambil alih oleh Presiden Xi Jinping. Profesor Leo Suryadinata menghadiri konferensi bertajuk “Kebangkitan soft power Tiongkok dan dampaknya terhadap bidang pendidikan dan budaya populer di Asia Tenggara” pada Selasa, 5 November 2024 di Jakarta. (spesial)

Hingga saat ini, kebijakan Tiongkok terhadap orang Tionghoa perantauan masih mempertahankan sistem luar negeri.

“Namun, sejak Xi Jinping menjadi presiden Tiongkok, terdapat kebijakan yang tidak jelas bagi warga negara lain, namun kini hal-hal tersebut tercampur atau setara.”

Dia menambahkan: “Kepentingan setiap negara berbeda, dan kebijakan ini menyebabkan ketidakpastian bagi banyak negara lain, terutama negara-negara yang memiliki hubungan buruk dengan Tiongkok.”

Confucius Institute, strategi soft power Tiongkok di Asia Tenggara

Ia menambahkan, Institut Konfusius lahir pada tahun 2005 dan menyebar ke Asia Tenggara.

Selanjutnya, Tiongkok memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara melalui pendidikan, termasuk pendirian Universitas Soochow di Laos dan Universitas Xiamen di Malaysia.

Banyak pelajar Asia Tenggara yang belajar di Tiongkok dan sebaliknya, banyak pelajar Tiongkok yang belajar di Asia Tenggara.

Di bidang seni dan budaya, drama dan seni Tiongkok mulai mendapatkan popularitas di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir.

Saat ini, Institut Konfusius berkembang di Asia Tenggara, dengan 16 di Thailand, delapan di Indonesia, dan masing-masing lima di Filipina dan Malaysia.

Selain di Vietnam, Institut Konfusius juga didirikan di Kamboja, Laos, dan Singapura. Jumlah keseluruhannya adalah 40 buah.

Menurut Profesor Leo, strategi kekuasaan yang sederhana dapat menghilangkan diskriminasi negatif yang ada di Tiongkok.

Ia mengatakan, “Agar kita bisa menjual soft listrik ke negara lain, negaranya harus kuat dulu.

Bagaimana dengan Indonesia? “Indonesia belum kuat, tapi negara besar. Banyak kekuatan dunia seperti Amerika Serikat dan Tiongkok yang menginginkan perdamaian dengan Indonesia,” kata Profesor Leo.

Selain profesor, Leo Suryadinata menjadi pembicara utama, dan seminar juga menghadirkan Dr. Edwin Tambunan, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Dosen Fakultas Hubungan Internasional President University, dan Guru Besar di UPH. FSI, Muhammad Farid, MPA, dan guru Mikom UPH Dr. Johannes Herlijanto juga merupakan Ketua dan Pembina Forum Sinologi Indonesia.

Hadir pula ketua penyelenggara konferensi, Dr., yang juga merupakan ketua Program Penelitian Mycom UPH. Benediktus A. Simangunson.

Profesor Edwin Tambunan mengatakan, dalam beberapa dekade terakhir, pembahasan mengenai Tiongkok terfokus pada hard power seperti kekuatan militer, kepentingan politik, dan kepentingan ekonomi dunia, sehingga menyebabkan perubahan pembahasan mengenai soft power Tiongkok pada nuansa baru. 

“Faktanya, di balik semua ini, Tiongkok secara aktif membangun pengaruh ekstrem melalui budaya, pendidikan, teknologi, dan masyarakat,” jelas profesor ilmu keamanan dan perdamaian tersebut.

Profesor Edwin mengatakan, kajian mengenai soft power Tiongkok memberikan perspektif baru yang memungkinkan para pengamat memahami bahwa Tiongkok bukan hanya kekuatan ekonomi dan militer, namun juga kekuatan dalam hal budaya dan tradisi.

Direktur Jenderal FSI Muhammad Farid percaya bahwa soft power Tiongkok melalui pendidikan telah membantu membentuk opini positif tentang Tiongkok dan sampai batas tertentu memberikan manfaat bagi negara tersebut. 

Ia mencontohkan penelitian soft power Tiongkok di Filipina yang menurutnya sangat menarik dan patut mendapat perhatian.

Dalam penelitian ini, salah satu bab dari buku tentang soft power Tiongkok yang ditulis oleh Profesor Suryadinata dan rekan-rekannya, mahasiswa Filipina yang belajar di Tiongkok dan mendapat beasiswa dari Tiongkok berpendapat bahwa Tiongkok tidak akan memenangkan apa pun yang tidak pernah diraihnya. Padahal sempat terjadi perselisihan antara China dan Filipina di Laut Filipina Barat secara bersamaan. 

Namun, Farid percaya bahwa masyarakat Asia Tenggara memiliki kebebasan dan kemampuan untuk memberikan respons yang cerdas dan spesifik konteks terhadap pertumbuhan soft power RRR.

Ia berharap kapasitas solusi cerdas terus dikembangkan oleh pengambil kebijakan dan seluruh masyarakat, termasuk mahasiswa.

Catatan:

Profesor Leo Suryadinata menghadiri konferensi bertajuk “The Rise of China’s Soft Power and its Impact on Education and Popular Culture in Southeast Asia” pada Selasa, 5 November 2024 di Jakarta. 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *