TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi X DPR Robert J Kardinal menyayangkan masyarakat Papua masih berjuang mencari keadilan atas tanahnya.
Akibatnya, sebagian warga Papua terpaksa pergi ke Jakarta untuk mencari keadilan.
“Sebagai anggota DPR dari Tanah Papua, saya masih melihat kesulitan yang dialami warga wilayah Boven Digoel dan Sorong. Mereka berupaya ke Jakarta untuk mencari keadilan. Berapa kilometer jarak yang mereka tempuh. Ayo ambil haknya,” kata Robert di Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Tindakan Robert ini menanggapi demonstrasi yang dilakukan sejumlah masyarakat adat Papua, yakni masyarakat Awyu di Boven Digoel dan masyarakat Moi di Kabupaten Sorong di Gedung Mahkamah Agung (MA) Jakarta Pusat, pekan lalu.
Melalui aksi demonstrasi damai di depan kantor perwakilan Tuhan, mereka yakin Pengadilan Tinggi akan memberikan putusan hukum yang dapat menjaga hutan mereka.
Masyarakat adat suku Awyu dan Moi tersangkut kasus hukum karena tanah adat mereka diambil alih oleh beberapa perusahaan kelapa sawit di Jakarta.
Kasus antara kedua negara ini telah mencapai tahap kasasi di Mahkamah Agung Federal.
Atas nama masyarakat Awyu, diajukan banding terhadap tiga perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Boven Digoel.
Saat itu, Iwi Moi keberatan jika ada perusahaan yang mengambil hutan seluas lebih dari 18.160 hektar untuk perkebunan sawit.
Robert menilai banyak terjadi perselisihan hukum antara masyarakat adat Papua dengan pengusaha perkebunan karena tidak melibatkan masyarakat adat sama sekali.
Faktanya, seluruh tanah Papua dikuasai oleh penduduk asli.
Dan hak warga Papua, jelasnya, tidak dilindungi undang-undang yang berlaku di Indonesia, melainkan hukum internasional.
“Bagaimana mungkin seseorang dari Jakarta, yang pemiliknya tidak tinggal di Jakarta, mungkin di Singapura, Hong Kong, atau di mana pun, mengklaim ribuan hektar tanah warisan dari seseorang yang masyarakatnya telah digelapkan oleh semak belukar?” dia memuji.
Oleh karena itu, ia mendesak Pemerintah untuk bertindak cepat atas munculnya situasi sengketa lahan antara masyarakat adat Papua dengan pengusaha pertanian.
Selain itu, masyarakat adat Papua juga belum mengetahui secara pasti bahwa hutan purbakala mereka akan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Jadi jangan hanya melihat aturan hukumnya saja, tapi kondisi sosial politik dan rasa hormat masyarakat adat Papua. Mereka sudah tinggal di sana selama beberapa generasi, namun tiba-tiba puluhan ribu hektar hutan mereka hancur. akan dibongkar tanpa ada otoritas yang jelas”, “inginnya.
Hal inilah yang menjadi ambisi politikus Golkar dari daerah pemilihan Papua Barat Selatan dan akan menjadi pembelajaran kedepannya, bagi Pemerintah untuk menjadi mediator.
Menurut dia, Pemerintah bisa berperan sebagai Petugas Pencatatan Sipil dan berdiri di antara investor dan masyarakat adat.
“Pemilik tanah dan investor harus memilih sendiri. Pemerintah harus mendengarkan apa yang mereka katakan. Kalau perlu, pastikan kebutuhan warga terpenuhi. Jangan biarkan investor ini begitu saja ke pemerintah, jadi jangan memandang rendah. dan izinnya tiba-tiba muncul. Padahal Amdal juga harus ikut masyarakat setempat,” ujarnya.
Robert menilai pemerintah perlu mengubah pendekatan dalam pengelolaan sumber daya alam di Papua.
Jadi, tidak hanya berlaku bagi pengusaha saja.
Namun hal ini juga membela kebutuhan masyarakat adat. Untuk itu, ia mendesak Pemerintah turun tangan dan membatalkan sepenuhnya izin mobil bekas komersial tanpa melibatkan masyarakat adat.
“Baguslah kalau pengusaha mau bekerja di Papua. Tapi di Papua kan tanahnya punya orang, jadi duduk bersama dan ngobrol. Kalaupun investasi tanahnya dibagi ke investor, bagi hasil, atau apalah, tapi nanti diputuskan. oleh keduanya (pengusaha dan hukum adat masyarakat) Pemerintah hanya harus mendengarkan dan menerima undang-undang dan kewenangannya,” ujarnya.
Selain itu, Robert mengaku meminta rekan-rekannya di Partai Parlemen Papua yakni anggota DPR dan DPD Papua-Papua Barat 2019-2024 untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Papua demi keadilan di Jakarta.
Saya bertanya, saya bertanya kepada teman-teman DPR-DPD Papua, bagaimana cara menandatangani petisi untuk mendukung perjuangan warga, yang diterima Mahkamah Agung, tambahnya.
Saat itu, Anggota DPRD Provinsi Papua John NR Gobai mengatakan, di banyak wilayah Papua sebenarnya terdapat ribuan hektar perkebunan kelapa sawit yang ditanami oleh perusahaan yang telah mengantongi izin dari Pemerintah. Sayangnya, keberadaan perusahaan kelapa sawit ini justru menimbulkan konflik di masyarakat.
“Ada yang mendukung, ada pula yang menyerukan agar perusahaan ditutup,” ujarnya.
Menurut dia, penyebab terjadinya konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat adalah jumlah pendapatan resmi sawit yang ditransfer ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih sedikit. Kelapa sawit dan kelapa sawit tidak sebanding dengan jumlah minyak sawit yang berasal dari pohon sawit yang ditanam di Papua.
“Mungkin sedikit karena masuk ke kantong pribadi pejabat yang salah,” ujarnya.
Untuk mengurangi permasalahan di Papua, katanya, pemerintah telah berhenti mengeluarkan izin untuk lebih banyak perkebunan kelapa sawit. Pasalnya keberadaan kelapa sawit telah menghancurkan kehidupan masyarakat.
Kelapa sawit menghancurkan mata pencaharian masyarakat dan tanaman obat. Lebih buruk lagi, kehadiran kelapa sawit akan membanjiri banyak kota.
“Yang terpenting saat ini adalah bagaimana memikirkan perkebunan yang ada saat ini agar bisa memberikan kontribusi terhadap lahan masyarakat dan daerah dalam bentuk bagi hasil (DBH),” ujarnya.