DPR Ingatkan soal Regulasi Berbasis FCTC yang Mengancam Tenaga Kerja Pertembakauan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menegaskan kuatnya kepentingan organisasi raksasa di rezim kesehatan internasional atau asing yang akan mengancam eksistensi budaya tembakau di Indonesia.

Hal ini tercermin dalam rancangan peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mengacu pada Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. (FCTC).

Faktanya, Indonesia bukanlah salah satu negara yang meratifikasi FCTC. Selain itu, negara lain tidak memiliki tenaga kerja di bidang pertanian atau tembakau seperti Indonesia. Diketahui, salah satu ketentuan RPMK yang diusulkan Kementerian Kesehatan RI adalah yang mendorong penggunaan rokok kemasan polos tidak bermerek di Indonesia.

Anggota Komisi DPR Peraturan sepihak ini sepertinya hanya membahas regulasi tembakau dari sisi kesehatan.

Aspek penting lain dari misbahah yang perlu ditangani dalam industri tembakau, seperti penghidupan petani dan pekerja yang berkontribusi dalam memajukan pertanian dan ekosistem pertanian yang kuat, sayangnya masih belum sepenuhnya disoroti oleh negara.

“Kami berpartisipasi dalam kerangka luas yang membicarakan masalah tembakau seolah-olah hanya masalah kesehatan. Ada masalah kesehatan ya. Namun hal ini tidak boleh menjadi dominan dalam menekan sektor tembakau. “Makanya kita tidak bisa mengintegrasikan isu tembakau,” kata Misbahun baru-baru ini dalam Forum Masyarakat Sipil dan Pemerintah Nasional di Jakarta, “Tinjauan Kritis RPMK 2024 tentang Keamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.”

Misbakhun berpendapat bahwa tembakau selalu menjadi komoditas terabaikan sehingga negara mendapat pemasukan besar dari sektor ini. Negara harus melindungi tembakau dan kembali pada kepentingan nasional yang fokus pada tembakau sebagai aset nasional yang utama.

Misbahun juga menyoroti adanya intervensi asing dan organisasi antitembakau yang berupaya menekan sektor tembakau dengan peraturan kesehatan seperti PP 28/2024 dan RPMK.

“Kami bingung dengan persoalan yang disoroti di PP 28/2024. Padahal, menurut saya, PP 28 merupakan gabungan kelompok anti tembakau dan intervensi asing yang ingin menyampaikan bahwa tembakau hanya terkait dengan kesehatan. “Itu harus kita perhatikan,” katanya.

Melalui debat ini, Misbah memberikan pencerahan mengenai masa depan industri tembakau yang bisa dikatakan menjadi satu-satunya industri nasional yang berada di bawah tekanan intervensi asing. Oleh karena itu, Misbahun mengingatkan negara harus ada pengaturan yang rasional mengenai prosedur dan mekanisme penyusunan undang-undang. Sebab jika PP 28/2024 dan RPMK hanya mengacu pada kesehatan secara utuh, maka berdampak pada industri yang mengalami kontraksi.

Ia menyarankan agar pemerintah bersikap adil, daripada memandang tembakau hanya dengan dalih kesehatan, pihak-pihak yang berkepentingan dengan produk tembakau ini juga harus ditempatkan pada hubungan yang obyektif. “Karena tembakau memiliki peranan yang luar biasa, maka sudah menjadi kewajiban konstitusi untuk melindungi hak-hak pekerja, petani, dan pihak lain yang nasibnya harus dilindungi dan dilestarikan,” tutupnya.

Ali Rido, pakar hukum Universitas Trisakti, mencermati tatanan hukum dan menyoroti adanya campur tangan asing yang mengaburkan proses dan konteks regulasi tembakau. “Jadi, kami ragu apakah kami benar-benar berdaulat dari sudut pandang hukum. “Jadi kami masih mencoba menguji bagaimana RPMK ini berjalan,” ujarnya.

Ali menjelaskan, volume materi dalam RPMK sudah jauh melampaui ketentuan di atas yakni PP 28/2024. Oleh karena itu, jika Kementerian Kesehatan ingin mendapatkan aturan teknisnya maka harus mengacu pada PP 28/2024. Namun RPMK justru mensyaratkan ketentuan regulasi yang diperluas dan diperketat serta melampaui aturan acuan.

Berdasarkan pengaturan tersebut, Ali melihat adanya perluasan item yang tidak disebutkan dalam PP 28/2024, melainkan sengaja dibuat dalam RPMK. Salah satu aturan yang menimbulkan kesimpangsiuran dalam RPMK adalah terkait standarisasi kemasan, yakni kemasan rokok polos tanpa merek yang tidak sesuai dengan rencana semula. Hal ini menunjukkan masih banyak penafsiran RPMK yang tidak efektif dan juga tidak efektif dalam pelaksanaannya.

“Poin terakhir saya, RPMK itu hegemoni. Undang-undang tersebut harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat memasukkan berbagai aspek peraturan perundang-undangan sebelum disahkan. “Jadi kami berharap ini tinjauan yang jelas secara hukum dan bisa diuji objektivitasnya,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *