TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Begitulah kisah Sabarno alias Pak Sabar alias Amali, kader Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah menjabat Ketua JI toliah wilayah timur.
Sepuluh tahun lalu, Densus 88 Antiteror mengungkap keberadaan JI toliah di wilayah Solo Besar.
Densus 88 juga menangkap anak buah Sabarno.
Saat itu Sabarno masih menjabat sebagai pimpinan wilayah JI di Toliah bagian timur.
Toliah bisa disebut divisi atau bagian khusus untuk transportasi dan persenjataan.
Pemekaran wilayah ini sesuai dengan pusat atau “ibu kota” gerakan JI di Solo.
Wilayah kerja Sabarno terbentang dari Solo ke arah timur hingga Jawa Timur.
Sedangkan wilayah Toliah Barat meliputi seluruh wilayah sebelah barat Solo.
Dalam penangkapan tersebut juga disita bahan peledak dan senjata api.
Penangkapan ini memberikan informasi mengenai struktur JI di pedesaan dan siapa pemimpin JI Toliah Timur.
Nama Sabarno pun muncul. Sabarno tahu kemungkinan dikejar.
Dia meninggalkan posisinya sebagai presiden Toliah dan kemudian diselamatkan.
Itulah awal karir panjang Sabarno yang membawa serta keluarganya. Anak-anak saat itu masih kecil. Siapa Sabarno?
Sabarno dilahirkan dalam keluarga religius di Maude.
Ayahnya menginspirasinya, ia menjadi seorang ghiroh dan mengubah karir militernya menjadi gereja.
Semasa kecil, ia suka membaca kisah-kisah heroik mujahidin Afghanistan, dari buku-buku milik ayahnya.
Teman-teman ayahnya juga tinggal di komunitas yang sama dan merupakan bagian dari jemaah di mana dia sangat bersemangat untuk melakukan jihad. Sabarno alias Amali, 10 tahun DPO dan menyerah setelah JI dibubarkan. (Tribunnews/Sigit Ariyanto)
Setelah dewasa, Sabarno disekolahkan di pesantren dan masuk ke Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Simo, Boyolali, Jawa Tengah.
Ia masuk generasi kedua pesantren yang didirikan oleh para guru dan santri Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Cemani, Sukoharjo.
Dalam perjalanan menuju Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Simo, Boyolali, Sabarno berbagi sedikit kisah pelariannya.
Saat ditanya apakah mengenal Gempur Budi Angkoro alias Urwah, Sabarno menjawab dengan suara lirih.
“Iya, saya kenal anggota keluarga, tetangga juga,” jawab Sabarno.
Gempur Budi Angkoro alias Urwah tewas saat bersembunyi bersama Noordin Mohd Top di sebuah rumah di Mojosongo, Kota Solo.
Gedung tersebut digerebek Densus 88 Antiteror pada 16 September 2009 sekitar pukul 22.30 WIB.
Pertempuran berlanjut hingga pagi hari ketika Noordin Mohd Top membela diri.
Ia pantang menyerah dan akhirnya tewas bersama ketiga temannya, Urwah, Ario Sudarso alias Aji dan Susilo.
Susilo merupakan seorang penyewa dan saat kejadian sedang bekerja sebagai penjaga hewan di Pondok Pesantren Al Kahfi Mojosongo.
Sehari sebelum penembakan, Susilo tinggal bersama Putri Munawaroh, istrinya yang sedang hamil.
Penampilan dan hubungan sosial mereka selalu menjadi milik mayoritas warga kota. Ia juga berinteraksi secara alami dalam hubungannya dengan tetangganya. karya sabarno
Kembali ke cerita Sabarno, setelah lulus dari Darusy Syahadah, ia bekerja di gereja dan banyak melakukan aktivitas dan pergerakan.
Ia pernah dikirim untuk belajar sebentar di wilayah Moro atau MILF di Mindanao. Kemudian dia terjerumus ke dalam konflik Ambon, dan yang paling jauh dia dikirim ke Suriah.
Di Mindanao, Sabarno belajar selama empat bulan ketika terjadi perang habis-habisan antara MILF dan militer Filipina.
Kamp Abubakar, pusat pelatihan militer bagi para jihadis Indonesia, telah dihancurkan sepenuhnya oleh tentara.
Sabarno dan banyak orang dari Indonesia belajar lapangan di hutan Mindanao.
Setelah selesai, Sabarno pulang dari Malaysia. Kepulangan mereka tertunda karena pasukan keamanan Indonesia telah memperkuat perbatasan.
Ia akhirnya masuk jalur tikus dan melanjutkan aktivitasnya di JI, termasuk misi khusus JI di Suriah.
Pada akhirnya, toliahnya ditemukan dan anak buahnya ditangkap 10 tahun lalu.
Sabarno segera membawa keluarganya dan melarikan diri dari tempat tinggalnya di Karanganyar, Jawa Tengah.
Sebelum mengungsi ke suatu lokasi di Sragen, Jawa Tengah.
Dia menggunakan ban bekas, menjual daging kornet, dan melakukan segala cara untuk bertahan hidup.
Tak lama kemudian di Sragen, ia pindah ke daerah Kalimantan.
Luangkan waktu dan jual daging babi. Sabarno mengatakan bisnis kelontongnya berjalan sangat baik.
Setelah sekian lama di Kalimantan, Sabarno kembali ke Jawa hingga akhirnya pindah ke Bekasi hingga Cikarang.
Selama karirnya, Sabarno tidak pernah berhubungan dengan anggota jemaah lainnya terkait perkumpulan tersebut.
Komunikasi masih sangat terbatas karena diawasi, dilacak, dan dilacak oleh pemburu Densus 88 Antiteror.
Dia tidak pernah menggunakan ponsel, laptop, atau perangkat lunak lainnya untuk tetap berhubungan dengan teman dan keluarganya.
Sabarno kembali ke cara komunikasi tradisional, misalnya menggunakan messenger atau telepon lama.
“Saya tahu saya selalu mencari dan melacak,” kata pria lima orang anak itu.
Sabarno juga terbatas dalam menavigasi dunia maya.
Hindari penggunaan mesin pencari dan gunakan konten yang berhubungan dengan kejahatan dan pergerakan.
“Semuanya terkendali. Pertanyaannya di mana, alat apa yang mereka gunakan, kata-kata tertentu, misalnya jihad, bisa jadi cara pelacakannya,” jelasnya.
Oleh karena itu, saat berpindah dari titik evakuasi, Sabarno menghindari kesalahan dengan ceroboh di dunia maya.
Ia biasanya hanya menghibur diri dengan menonton film sejarah.
“Saya suka nonton Ertugrul (serial drama Turki Ertugrul Ghazi Urdu),” ujarnya sambil tertawa.
Apakah Anda dekat dengan pemburu Anda?
Sabarno mengaku beberapa kali mengira dirinya sedang diikuti.
“Naluriku berkali-kali memberitahuku bahwa mereka sangat dekat,” jawab Sabarno. Namun Sabarno menggunakan pengetahuan dan keterampilan praktisnya untuk menghindarinya.
Semua pasukan khusus JI mampu. Mereka mengetahui strategi kontra intelijen untuk menghadapi penganiayaan yang dilakukan oleh pasukan keamanan. Sabarno KW
Banyak hal menarik yang Anda dengar dan lihat di tahun 2016 di media. Polisi menangkap seseorang di Magetan bernama Sabarno.
Sabarno, alias Gatot Witono, dari Magetan, dikatakan sebagai direktur regional JI East Toliah dan bertanggung jawab atas layanan logistik jaringan organisasi tersebut.
Sabarno Karanganyar mempunyai arti yang sama dan dikaitkan dengan Sabarno Magetan.
“Itu Sabarno KW, Sabarno kaleng,” candanya kepada Tribun.
Jadi Sabarno ‘pertama’ ini belum pernah ditangkap Densus 88 Anti Teroris Polri sejak dinyatakan buron atau DPO.
Hingga akhir Mei atau hingga Juni 2024, Sabarno yang tinggal di Maunnel mendengar dari temannya bahwa JI akan pecah atau hancur sendiri.
“Awalnya saya kaget, kok bisa dia melakukan itu? Akhirnya saya konsultasi dengan sesepuh, mendapat penjelasan lengkap dan akhirnya bisa menerimanya,” Sabarno menerima pihak keamanan berdasarkan saran dari sesepuh JI.
Dari petinggi JI Solo, Sabarno akhirnya bertemu dengan tim Densus 88 kontrateror dan dilakukan pengembangan lebih lanjut.
Sabarno akhirnya mengungkap persembunyian logistik atau material senjata albas JI di Solo Raya.
Seperti yang ditunjukkan Sabarno dan kawan-kawan di mana lokasi pembuangan senjata M-16 di Bengawan Solo.
Bidang pencarian, termasuk akhirnya menyelam di Bengawan Solo, menemukan objek pencarian dalam kondisi memprihatinkan.
Senapan M-16 merupakan aset organisasi JI yang diperoleh dari Ambon pada masa konflik dan dikembalikan ke Pulau Jawa. Nasib Sabarno saat ini
Lantas apa jadinya Sabarno setelah JI bubar atau bubar?
Sabarno mengaku ingin kembali bermasyarakat, menghidupi keluarganya.
Hal ini juga akan membantu pasukan keamanan dan mantan pejabat senior JI.
“Selama masa transisi ini, saya akan berkontribusi pada keputusan sosial untuk mengubah JI menjadi jaringan dan akar,” ujarnya.
Sabarno akan terus menaati hukum.
“Terserah kita bagaimana takkum (hukumnya), saya ikuti saja prosesnya,” jelas Sabarno.
Sumber Densus 88 Pencegahan Kejahatan mengatakan polisi akan terus menyamakan buronan atau mantan DPO JI.
Namun proses ini akan mengikuti pendekatan agresif yang dilakukan Densus 88 Pencegahan Kejahatan yang lebih bermotivasi dan fokus pada keadilan restoratif. (Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)