Reporter Tribune.com Ashri Fadhila melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) belum menutup penyidikan dugaan korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Barat.
Meski ada beberapa terdakwa yang sudah divonis penjara, tim penyidik Jaksa Agung Zampids terus mengembangkan kasus tersebut.
Wawancara saksi dan pengumpulan bukti terus dilakukan
Selasa (06/04/2024) ini, tim penyidik melakukan pengecekan di Kabupaten Kutai Barat terhadap Ismail Thomas antara tahun 2006 hingga 2016.
Ismail Thomas juga pernah menjadi anggota Fraksi PDIP DPR RI (2019-2023).
Kejaksaan Agung melalui tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kejaksaan Agung tengah memeriksa saksi-saksi dugaan korupsi pemberian izin pertambangan di Kabupaten Kutai Barat. IT adalah Bupati Kutai Barat periode 2006 hingga 2016, kata Jaksa Agung Kapuspenkam Ketut Sumdona dalam keterangannya.
Selain itu, tim penyidik juga memeriksa dua saksi lainnya di hari yang sama.
Salah satunya mantan anak buah Ismail Thomas, satu lagi makelar
Ketut mengatakan, pada tahun 2008, sebagai Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Barat dan sebagai broker perusahaan pertambangan batu bara B.S.
Jaksa Agung Puspencum sejauh ini enggan membeberkan detail kasus yang sedang diselidiki.
Namun Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Derdic Zampidus) Kejaksaan Agung membenarkan kasus tersebut merupakan perkembangan yang melibatkan Ismail Thomas, mantan anggota DRP.
Menurut Kuntadi, timnya menemukan Ismail Thomas tidak hanya memalsukan dokumen izin pertambangan di PT Sandwar Jaya.
Mengatakan pada Kamis (29/2/2024): “IT sepertinya juga mengganggu hal-hal lain. Ini bukan hanya satu indikator.”
Dari penelitian tersebut, tim peneliti terus melakukan pengembangan
Termasuk lokasi pertambangan yang izinnya dipalsukan oleh eks anggota PDIP.
Jadi kita lihat saja, memang benar dia tidak bertanggung jawab, ada peristiwa hukum saat sedang didalami. Indeksnya ke arah sana. Makanya terus berkembang, kata Kuntadi.
Dalam kasus ini, Ismail Thomas sendiri divonis satu tahun penjara oleh majelis PN Jakarta Pusat.
Selain itu, ia divonis denda Rp50 juta subsider 3 bulan penjara.
Vonis yang dijatuhkan Senat lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.