TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan pembelajaran kampus merdeka (MBKM) yang diterapkan mulai tahun 2020 dinilai sebagai bentuk dominasi koersif pemerintah yang merugikan elemen mikro praktik MBKM yakni mahasiswa.
Meskipun kebijakan ini terkesan memberikan kebebasan kepada perguruan tinggi, namun justru memaksa lembaga pendidikan untuk bergerak ke arah yang salah seperti yang disyaratkan pemerintah.
Demikian hasil tesis Patricia Rabin saat ia menempuh studi doktoral ilmu komunikasi di Universitas Saheed Jakarta.
Patricia berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul “Warisan Kemandirian Pembelajaran Universitas Azad (Kajian Hegemoni Antio Gramsci dalam Sistem Pendidikan Nasional)” pada Sidang Promosi Doktor yang dilaksanakan di Gedung Pascasarjana Universitas Saheed, Jakarta. Dengan hasil tersebut, Patricia menjadi Doktor Ilmu Komunikasi ke-171 Universitas Saheed Jakarta.
Dalam esainya, Patricia menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci untuk menjelaskan bagaimana pemerintah mengontrol lembaga pendidikan tanpa kekerasan fisik.
“Mendominasi dunia pendidikan tinggi melalui MBKM merupakan salah satu bentuk hegemoni koersif, seolah-olah memberikan ‘rencana besar’ yang jika tidak dilaksanakan akan mempengaruhi tinjauan akreditasi dan kelangsungan pendidikan tinggi,” kata Patricia dalam pembelaannya . .
Patricia mencontohkan, MBKM yang diklaim dapat menyelesaikan permasalahan pendidikan, sebenarnya berbeda dengan hakikat pendidikan yang dirintis Ki Hadjar Dewantara dengan Tri Pusat Pendidikan yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.
MBKM hanya mementingkan kenikmatan dan pemenuhan kebutuhan industri hingga mengabaikan pengembangan karakter dan kemandirian peserta didik.
Selain itu, saat menulis penelitian, Patricia mengembangkan analisisnya berdasarkan wawancara dengan dua narasumber ahli, yakni pakar pendidikan nasional Ki Darmaningtyas dan komentator pendidikan abad 21 Indira Charismadjee.
Dengan tesisnya tersebut, Patricia Robin tidak hanya meraih gelar doktornya, namun juga mengajak para akademisi dan akademisi untuk memikirkan kembali arah pendidikan di Indonesia.
Seruan ini juga ditujukan kepada pemerintah yang selama ini gagal menyelesaikan permasalahan filosofis pendidikan Indonesia, yaitu belum adanya cetak biru yang mewakili landasan dan arah tujuan pendidikan Indonesia. Ke mana kita ingin pergi? Itu?.” kata Patricia. “Itu juga menyebabkan kekacauan politik setiap kali menteri berganti karena kepentingan di sana juga berubah,” kata Patricia.
Sidang promosi dipimpin oleh Dr. Merlinda Arwanti P.M.Si, Ketua Sidang sekaligus Rektor Universitas Sahid Jakarta.
Sementara itu, sponsor skripsi Dr. Mirza Ronda, M.C. dan ko-promotor, Dr. Franaki Napithopoulou, M.C.
Anggota Dewan Penguji : Dr. Mikhail Dua Tengangatu, MA; Prof.Dr.Ahmad Malani, M.Si. Prof.Dr.Toti Vidyasthoti, SSS, M.S. Nandang Molya Santosa, MM, MC memuji Patricia atas kedalaman analisisnya dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia.
Pembahasan komunikasi sosial dalam konteks akademik berkontribusi terhadap keberhasilan akademik Universitas Saheed Jakarta.
“Salah satu solusi terhadap tantangan pendidikan di Indonesia adalah perlunya gerakan non-hegemonik terhadap kebijakan pendidikan yang diyakini semakin menyinggung semangat pendidikan Indonesia. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh satu individu saja, namun oleh kekuatan perguruan tinggi swasta yang Sadar sepenuhnya akan generasi mendatang, “jangan hanya fokus menjadi pekerja industri,” kata Patricia.