Dinilai Tidak Transparan, DPR Sorot Draft Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek

 TRIBUNNEWS.COM, XHAKARTA – Sejumlah anggota legislatif ikut serta dalam pemungutan suara mengenai rencana pemberlakuan rokok kemasan polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).

Kebijakan ini dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat kecil yang mata pencahariannya bergantung pada sektor industri tembakau, seperti petani dan pengecer.

Kebijakan restriktif ini merupakan aturan yang diturunkan dari Keputusan Pemerintah No. 200. Tanggal 28 November 2024 (PP 28/2024) masih menjadi kontroversi akhir-akhir ini. Anggota parlemen mencatat bahwa Kementerian Kesehatan tidak menghormati proses persetujuan peraturan dan tindakan hukum dan minimnya partisipasi sektor yang terkena dampak, serta perlunya melindungi sektor tembakau sebagai salah satu barang strategis nasional.

Anggota Komisi IX DPR-RI Noor Nadlifa mencatat adanya permasalahan dalam proses pengesahan undang-undang tersebut yang dinilai tidak melibatkan parlemen sama sekali. RPMK dan PP 28/2024 tidak sesuai dengan kesepakatan awal antara Komisi IX dan Kementerian Kesehatan (Kemenke) saat pembahasan UU Omnibus Pelayanan Kesehatan. 

Kementerian Kesehatan juga telah melampaui kompetensinya dengan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi kementerian lain. Belum lagi, inisiatif RPMC dan PP Kementerian Kesehatan bertentangan dengan banyak aspek dan peraturan lain, seperti pelanggaran perlindungan hak kekayaan intelektual dan Peraturan Presiden No. 200. Permen 68/2021 perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat kualitatif, serasi, non-sektoral, dan tidak menghambat kegiatan masyarakat dan dunia usaha.   “Kami mendapat banyak masukan dari pemilih terkait rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek PP 28/2024 yang melampaui amanah Kementerian Kesehatan dan bermasalah bagi berbagai industri,” kata Nadlifa. Ia menambahkan, usulan Kementerian Kesehatan untuk menggalakkan promosi rokok polos kemasan tanpa merek berpotensi semakin meningkatkan peredaran rokok ilegal.

“Hal ini sangat berbahaya, karena membuka peluang beredarnya rokok ilegal di masyarakat dan mempersulit pengaturan penerimaan cukai sebagai penerimaan negara oleh pemerintah,” ujarnya.

 Ia menambahkan, tindakan tersebut bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi, karena Komisi IX sendiri tidak ikut serta dalam pembahasan aturan tersebut. Sebaliknya, perjanjian ini berfokus pada Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Kritik ini juga menyoroti rasa frustrasi terhadap transparansi dan partisipasi dalam pembuatan peraturan yang berdampak pada sektor industri dan kesehatan. DPR menekankan perlunya partisipasi semua pihak untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak hanya melindungi sektor strategis seperti industri tembakau, tetapi juga memenuhi norma hukum dan konstitusi. Tak pelak, Nadlifa juga meminta pemerintah lebih memperhatikan dampak dari peraturan yang diambil, serta menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa proses regulasi bersifat inklusif dan transparan. Kementerian Kesehatan diminta memenuhi keinginan masyarakat kecil yang menolak KPMK dan berbagai pasal PP 28/2024. “Sejak Omnibus Law Pelayanan Kesehatan, Komisi IX dan Kementerian Kesehatan sepakat untuk bersama-sama memantau perkembangan kebijakan, termasuk berbagai peraturan tambahan. Namun persetujuan PP 28/2024 dan RPMK belum dikonsultasikan dengan Komisi IX, dia menjelaskan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *